Bagi pecinta sosial buku rekayasa sosial; reformasi/revolusi
ini rasanya tidak asing lagi. Buku setebal 215 halaman ini berisi kumpulan dari
khotbah atau nama lainnya kuliah umum Jalaludin Rakhmat kepada mahasiswanya di
berbagai tempat atau majlis ilmu yang dikunjunginya.
Sebelum membaca buku ini,
saya sebenarnya telah membaca resensinya beberapa tahun lalu. Karena beberapa kendala, saya baru menemukan
buku ini dan menyelesaikannya dalam waktu empat hari.
Seperti yang kita ketahui, si penulis (biasa dipanggil Kang
Jalal) adalah seorang Syi’ah. Isi bukunya pun tidak sedikit membicarakan Iran.
Meski tidak secara gamblang mempropagandakan Syi’ah, tapi di beberapa tulisan
cukup terlihat bagaimana penulis memiliki kesan spesial terhadap Syi’ah.
Saya sangat terkesan dengan cara Kang Jalal berargumen dan
menyampaikan gagasannya dalam buku tersebut. Begitu lugas dan simpel. Logika
yang dipakai pun sangat bagus. Salah satu contohnya adalah ketika dia
menjelaskan tentang kesalahan berpikir yang sering terjadi, dia menulis seperti
ini:
“Pernah seseorang mengatakan bahwa orang-orang Islam itu
jorok. Buktinya, Indonesia yang mayoritas muslim, orang-orangnya jorok. Orang
itu lalu menyimpulkan bahwa Muslim di mana pun jorok. Sebaliknya, orang-orang
Nasrani itu bersih dan rapi. Buktinya, orang-orang Nasrani di negara Barat
umumnya bersih dan rapi".
“Untuk menolak asumsi yang salah itu, kita dapat dengan
mudah mengambil contoh yang sebaliknya, dan menggeneralisasikannya seperti Pak
Profesor Doktor tadi. Mungkin dia akan terkejut.
Umpamanya, ketika dia
mengatakan orang Nasrani itu bersih, saya katakan saja bahwa orang Nasrani di
Filipina itu jorok. Orang Nasrani di Brazil itu jorok. Orang Nasrani di
Argentina itu jorok. Kesimpulannya: orang Nasrani jorok-jorok.
“Orang Islam di Inggris itu bersih. Orang Islam di Amerika
itu bersih dan orang Islam di negara-negara Barat lain pada umumnya juga
bersih-bersih. Dengan demikian, kesimpulannya orang Islam itu bersih dan orang
Nasrani itu jorok.”
Kerancuan Berpikir dan Mitos
Dalam bagian pembuka sebelum berbicara apa itu rekayasa
sosial, Kang Jalal mengajak kita untuk membongkar pola pikir yang salah dan
mitos yang berkembang di masyarakat, kenapa? Karena hal tersebut akan
menghambat rekayasa sosial.
Mustahil ada perubahan ke arah yang benar jika kesalahan
berpikir masih berada dalam benak kita. Dalam membahas masalah sosial, kita
perlu membicarakan berbagai kesalahan pemikiran dalam memperlakukan masalah
sosial. Oleh para ilmuwan, kesalahan seperti ini biasa disebut dengan intellectual
cul-de-sac, yang artinya kebuntuan dalam pemikiran. Ada dua macam kesalahan
yaitu intellectual cul-de-sac dan mitos. Mitos adalah sesuatu yang salah tetapi
dipercayai banyak orang termasuk ilmuwan.
Menurut Kang Jalal,
ada 7 kesalahan berpikir manusia yang harus dibongkar.
Pertama, Fallacy of dramatic instance;
Kecenderungan melakukan Over generalisation yaitu dengan menggunakan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat umum. Contohnya, seorang peneliti datang ke Indonesia ingin meneliti keadaan umat Islam, karena Muslim Indonesia terbesar di dunia.
Ketika tiba di Indonesia dia mendapati fakta bahwa muslim Indonesia itu miskin, jorok, dan hal jelek lainnya. Lalu peneliti ini mengeneralisir hal tersebut dengan mengatakan bahwa orang Islam itu orannya miskin, jorok, dan lain sebagainya dengan bukti penelitian yang dia lakukan di Indonesia.
Kecenderungan melakukan Over generalisation yaitu dengan menggunakan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat umum. Contohnya, seorang peneliti datang ke Indonesia ingin meneliti keadaan umat Islam, karena Muslim Indonesia terbesar di dunia.
Ketika tiba di Indonesia dia mendapati fakta bahwa muslim Indonesia itu miskin, jorok, dan hal jelek lainnya. Lalu peneliti ini mengeneralisir hal tersebut dengan mengatakan bahwa orang Islam itu orannya miskin, jorok, dan lain sebagainya dengan bukti penelitian yang dia lakukan di Indonesia.
Kedua, Fallacy of
retrospective determinism;
Menganggap masalah sosial selalu ada dan tidak bisa dihindari, karena sudah ada sejak zaman dahulu dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang. Contoh pelacuran, kemiskinan, dan lain-lain yang sudah sejak zaman dahulu kala memang hal-hal tersebut sudah ada dalam sejarah kehidupan manusia.
Menganggap masalah sosial selalu ada dan tidak bisa dihindari, karena sudah ada sejak zaman dahulu dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang. Contoh pelacuran, kemiskinan, dan lain-lain yang sudah sejak zaman dahulu kala memang hal-hal tersebut sudah ada dalam sejarah kehidupan manusia.
Ketiga, Post hoc ergo
propter hoc;
Menyatakan peristiwa yang terjadi berurutan saling mempengaruhi, contoh harga barang setelah reformasi naik karena Amin Rais menurunkan Suharto.
Menyatakan peristiwa yang terjadi berurutan saling mempengaruhi, contoh harga barang setelah reformasi naik karena Amin Rais menurunkan Suharto.
Keempat, Fallacy of
misplaced concretness,
Mengkonkretkan sesuatu yang sebenarnya abstark. Contohnya, mengapa orang Islam secara ekonomi dan politik? Karena, kita berada dalam sistem jahiliyah dan thagut sedang berkuasa. Tetapi, sistem jahiliyah dan thagut itu dua hal yang abstrak. Sehingga jika jawabannya seperti itu lalu apa yang harus kita lakukan? Kita harus mengubah sistem! Tetapi, “siapa” sistem itu? Sistem yang abstrak itu kita pandang sebagai sesuatu yang konkret.
Mengkonkretkan sesuatu yang sebenarnya abstark. Contohnya, mengapa orang Islam secara ekonomi dan politik? Karena, kita berada dalam sistem jahiliyah dan thagut sedang berkuasa. Tetapi, sistem jahiliyah dan thagut itu dua hal yang abstrak. Sehingga jika jawabannya seperti itu lalu apa yang harus kita lakukan? Kita harus mengubah sistem! Tetapi, “siapa” sistem itu? Sistem yang abstrak itu kita pandang sebagai sesuatu yang konkret.
Kelima, Argumentum ad
verecundiam.
Berargumen menggunakan otoritas, walaupun tidak relevan dan ambigu. Misalnya ada suatu peristiwa, lalu ada suatu kelompok yang melihatnya sama dengan apa yang terjadi zaman Nabi Muhammad saw atau zaman sahabat lalu melakukan penafsiran yang memaksa pihak lain untuk membenarkan penafsiran yang mereka lakukan.
Padahal peristiwa sirah itu bisa dilihat berbeda oleh pihak yang berbeda. Sebaiknya bila kita akan menggunakan otoritas kita menambahkan frasa “menurut pendapat saya” atau yang sejenisnya.
Berargumen menggunakan otoritas, walaupun tidak relevan dan ambigu. Misalnya ada suatu peristiwa, lalu ada suatu kelompok yang melihatnya sama dengan apa yang terjadi zaman Nabi Muhammad saw atau zaman sahabat lalu melakukan penafsiran yang memaksa pihak lain untuk membenarkan penafsiran yang mereka lakukan.
Padahal peristiwa sirah itu bisa dilihat berbeda oleh pihak yang berbeda. Sebaiknya bila kita akan menggunakan otoritas kita menambahkan frasa “menurut pendapat saya” atau yang sejenisnya.
Keenam, Fallacy of
composition.
Terapi untuk satu orang pasti berhasil untuk orang lain. Misalnya dalam suatu kampung ada seorang petani yang menjual sawahnya untuk dia belikan motor. Lalu dia menjadi ojek.
Karena dalam satu kampung tersebut hanya dia yang memiliki motor maka dia menjadi sukses dengan bisnis ojeknya. Lalu beramai-ramai teman petani yang lain meniru pola yang dia lakukan. Sehingga terjadi poverty sharing karena lahan ojek yang menyempit.
Terapi untuk satu orang pasti berhasil untuk orang lain. Misalnya dalam suatu kampung ada seorang petani yang menjual sawahnya untuk dia belikan motor. Lalu dia menjadi ojek.
Karena dalam satu kampung tersebut hanya dia yang memiliki motor maka dia menjadi sukses dengan bisnis ojeknya. Lalu beramai-ramai teman petani yang lain meniru pola yang dia lakukan. Sehingga terjadi poverty sharing karena lahan ojek yang menyempit.
Ketujuh, Circular
reasoning;
Pemikiran yang berputar-putar, menggunakan kesimpulan untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju kesimpulan semula.
Pemikiran yang berputar-putar, menggunakan kesimpulan untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju kesimpulan semula.
Misalnya , terjadi perdebatan tentang rendahnya prestasi
intelektual umat Islam Indonesia. Orang pertama membuktikan konklusi tersebut
dengan membandingkan persentase mahasiswa Islam dan non-Islam pada program S2
dan S3. Hasilnya, semakin tinggi tingkat pendidikan, makin menurun trend
kehadiran orang Islam. Padahal di tingkat SD, persentase muslimnya sejumlah
95%.
Lalu, orang kedua menyatakan bahwa hal ini terjadi lantaran
oran Islam tidak diberlakukan sederajat dengan orang non-Islam. Jadi, ada
perlakukan diskriminatif terhadap orang Islam. Sampai-sampai, orang Islam
sering dicoret dari program-program pendidikan tinggi.
Orang pertama lalu menjawab lagi. “Orang Islam dicoret
karena orang meragukan kemampuan intelektualnya.” Dengan jawaban ini, kita
kembali kepada pokok permasalahan. Akhirnya perdebatan mengalir seputar itu dan
terus berputar-putar.
Untuk mitos terbagi dua yaitu, mitos sosial yang menyatakan
masyarakat itu statis, tidak berubah, stabil dan yang kedua mitos trauma yaitu
perubahan itu menimbulkan krisis emosial dan stres mental.
Jujur, pada saat membaca buku ini, saya menjadi sedikit
“tercerahkan”. Dulu, logika berpikir saya sangat kaku, satu arah, tidak bisa
berpikir bolak-balik. Sekarang sudah sedikit lebih maju (setidaknya menurut
persepsi pribadi).
Satu lagi pembahasan yang paling menarik buat saya, yaitu materi bab 4 tentang revolusi. Pada umumnya, revolusi terjadi ketika banyak
orang merasa tidak puas dengan keadaan yang terjadi. Krisis yang melanda
menuntut hadirnya suatu perubahan fundamental dan holistik, adanya reformasi
yang mungkin sebelumnya sudah terjadi dirasa berjalan terlalu lamban dan tidak
menyelesaikan permasalahan. Dari kondisi inilah kemudian perubahan total
dianggap perlu sebagai jawaban, perubahan ini disebut revolusi.
Lebih lanjut lagi,
Kang Jalal memaparkan empat mazhab teori revolusi yaitu; a). Mazhab
Behavioral, b). Mazhab Psikologis, c). Mazhab Struktural, dan d). Mazhab
Politik. Keempat mazhab revolusi ini
masing-masing memiliki karakter khusus. Namun dalam resensi saya tentang buku
ini, saya tidak akan menjelaskannya
secara keseluruhan karena saya akan fokuskan pada teori revolusi mazhab
psikologis.
Menurut mazhab Psikologi, revolusi terjadi karena tiga
kondisi deprivasi; Pertama, deprivasi aspirasional. Deprivasi jenis ini terjadi
ketika kapabilitas pemerintah tidak mampu mengimbangi ekspektasi rakyat. Rakyat
ingin sekolah gratis, tapi pemerintah tidak mampu mewujudkannya. Rakyat ingin
makan tiga kali sehari, tapi ternyata mereka hanya bisa makan sekali tiga hari.
Keadaan seperti ini akan membuat rakyat frustrasi. Bila frustrasi itu meluas,
rakyat meledakkan kekecewaan mereka dalam berbagai kerusuhan. Terjadilah
revolutions of rising expectations.
Kedua, deprivasi dekremental, deprivasi karena penurunan.
Kondisi itu terjadi ketika value expectgtions tetap, tapi value capacities
turun dengan drastis. Harapan dan ekspektasi rakyat sebenarnya tetap (stabil),
tapi karena tiba-tiba terjadi krisis moneter, korupsi yang melumpuhkan ekonomi
rakyat, pemerintah yang otoriter, dsb, kemampuan pemerintah dalam memenuhi
kebutuhan rakyat menjadi turun drastis. Revolusi yang terjadi karena hal ini
disebut dengan revolutions of with-drawn benefits, revolusi karena kehilangan
keuntungan.
Ketiga, deprivasi progresif. Misalnya, satu bangsa melakukan
pembangunan nasiona. Selama periode tertentu, aspirasi naik sama cepatnya
dengan kenaikan pemenuhan aspirasi itu. Aspirasi dan pencapaian berkembang
bersama-sama. Pada satu titik, pencapaian dihambat atau bahkan diturunkan
(karena bencana alam, perang, kehancuran ekonomi). Jarak antara value
expectations dengan value capacities makin lama makin jauh. Terjadilah
revolutions of frustrated progress.
Kesimpulannya, jika anda ingin menimbulkan revolusi,
lakukanlah hal-hal berikut: (1) tingkatkan aspirasi rakyat sehingga tidak lagi
dapat dicapai oleh mereka, (2) turunkan pencapaian rakyat, atau (3) kembangkan
aspirasi dan pencapaian bersama, tetapi kemudian pada satu titik, turunkan
pencapaian dan aspirasi kita naikkan. (AF)








