Problematika Keadilan Sosial Ekonomi dan Islam Profetik di Indonesia
Tulisan ini diambil dari sebuah catatan kecil Muhamad Iqbal, dimana tulisan ini merupakan intisari dari Kajian Yaumul Sabat dengan tema yang sama dengan judul tulisan ini. Menurut Muhamad Iqbal pembahasan terkait problematika keadilan sosial di Indonesia sangat menarik, sebab selalu menjadi fokus permasalahan utama yang sering dilihat di masyarakat.
Keadilan Sosial Ekonomi merupakan bahasan yang seringkali berulang sejak pra-kemerdekaan di Indonesia hingga kini. Perbedaan pemikiran terhadap keadilan sosial ekonomi, khususnya di Barat, membuat pemikiran sosial ekonomi tersbeut berbeda satu sama lain, bahkan saling bertolak belakang.
Kegiatan dan hasil intelektual melahirkan suatu pertindak (implementasi) di masyarakat. Keadilan sosial ekonomi sebagai satu konsep besar untuk mencapai satu tujuan demi kebahagiaan manusia harus tercapai dalam jangka panjang dan berlanjut terus menerus. Sayangnya, pemikiran ekonomi yang berbeda melahirkan dialektika pemikiran yang seringkali merugikan satu sama lain.
Di Barat, keadilan sosial ekonomi dipertentangkan antara kebebasan individual dan pengaturan oleh negara, pasar bebas dan kontrol negara, dan individualisme dan kolektivisme. Pergesekan antara dua kutub teritorial lahirnya filsafat rasionalisme dan empirisme, yaitu antara Inggris dan Eropa Kontinental melahirkan berbagai perbedaan pandangan yang seringkali membuat masyarakat awam menjadi korbannya. Di sisi lain, menjadi ladang perang bagi para cendekiawan dan ilmuwan dalam menemukan konsep keadilan sosial ekonomi yang ideal bagi kebahagiaan umat manusia.
Tak dapat dipungkiri, pemikiran Barat telah mencapai puncaknya dengan berbagai pemikiran saintifik yang awalnya berasaskan pada empat asumsi: determinisme-mekanistik, reduksionisme-fragmentaris, kontinuitas, impersonal pasif dan free-value. Kemajuan saintifik ini dipicu oleh ‘penciptaan’ brilian Isaac Newton yang menciptakan teorinya berdasarkan gerak bumi terhadap matahari dan daya gravitasi bumi yang bersifat mekanistik dan deterministik. Akibatnyam pengaruh pemikiran ini menjalar kepada ilmu-ilmu lain , yang berimplikasi pada semakin terpecahnya lingkup ilmu, timbulnya ketertutupan antar-ilmu yang seharusnya berkaitan, pemikiran yang cenderung linier dan cenderung ‘dimutlakkan’ dan berbagai ekses yang melahirkan apa yang disebut ‘ekslusifisme keilmuan’.
Dunia ilmu yang lahir dalam keadaan ini membuat komunikasi antar-ilmu menjadi terkotakkan dan mengakibatkan apa yang disebut sebagai dehumanisasi ilmu. Dehumanisasi ilmu ini dipicu oleh asumsi bahwa ilmu adalah bebas nilai, bebas nilai-nilai moril yang bermuatan das sollen serta menekankan pada das sein. Akibatnya, terjadi kesenjangan antara ilmu dan realitas di lapangan, khususnya bagi kehidupan manusia di muka bumi ini.
Dengan dasar keilmuan yang serba determinis-mekanistik, reduksionis-fragmentaris dan serba bebas nilai, hal ini menimbulkan berbagai problem bagi kehidupan manusia. Di Barat sendiri, pasca-revolusi industri, telah menyebabkan perkembangan teknologi menjadi makhluk artifisial yang serba mengontrol kehidupan manusia secara otoriter. Dingin dan kejamnya teknologi membuat manusia menjadi serba dibudaki dan dikungkungi. Lahirnya zaman industrialisasi dan kini sedang mengalami zaman digitalisasi, pada satu sisi telah mempermudah manusia dalam berkehidupan sehari-hari, di sisi lain dia telah terpenjara oleh hasil kreativitas itu sendiri.
Akibatnya, ketidakadilan sosial di dalam masyarakat menjadi nyata. Fenomena Opportunity Cost, dengan mengorbankan banyak hal demi kemajuan dalam satu bidang (dalam hal ini pertumbuhan ekonomi) menimbulkan berbagai problematika kehidupan yang tidak berkesudahan. Ketimpangan sosial khususnya dalam hal ekonomi menjadi hal yang lumrah terjadi di dalam pembangunan ekonomi. Konsep keadilan ekonomi ala Barat, dengan kata lain, berat sebelah dan reduksionis, menimbulkan kerancuan dalam memahami keadilan itu sendiri.
Pada sisi pandang yang lain, lahirnya ilmu pengetahuan di Barat merupakan bentuk pemberontakan terhadap hegemoni gereja yang mengungkungi kebebasan berpikir manusia. Tersingkirnya hegemoni gereja menjadi simbol bagi kemerdekaan dan kebebasan manusia di Barat. Akibatmya adalah ‘keluar dari mulut buaya menuju mulut macan’. Perjalanan kebebasan di Barat menjadi begitu tragis karena kerancuan dalam memahami apa yang disebut ilmu pengetahuan dan agama.
Apa yang dapat kita dapati dalam perkembangan pemikiran keadilan sosial ekonomi ini, amat berbeda dengan perkembangan keadilan sosial ekonomi ala Islam. Pada dasarnya (tentunya dalam dimensi teologis-transenden) antara kepentingan agama dan ilmu pengetahuan (dengan kata lain antara duniawi dan ukhrawi) adalah tidak bertentangan sama sekali. Gap antara wahyu dengan dunia realitas di Barat tidak terjadi dalam Islam itu sendiri. Sayangnya, perlu kita akui bahwa terjadi ‘sekularisasi terselubung’ antara Islam dengan realitas kekinian yang membuat ajaran Islam itu sendiri beku.
Memahami keadilan sosial ekonomi dalam Islam dengan kata lain adalah bentuk pembebasan manusia dari segala kungkungan yang membuat manusia termahjub dengan dasar fitrahnya sebagai makhluk yang merdeka. Seperti yang dikatakan oleh Umar Ibnu Khaththab, manusia lahir pada dasarnya merdeka. Meskipun begitu, kebebasan tersebut tidak dapat dipahami hanya semata kebebasan yang anarki, individualitas kita diasah dengan asas sosialistik. Oleh karenanya, moral manusia, meski berdasarkan pengajaran dari orang tua maupun wahyu, namun perlu untuk diasah dengan hadirnya ruang sosial yang membuat kita saling memahami dan saling bertimbal balik. Lahirnya moralitas dalam nilai normatif teologis tidak akan kosong apabila adanya asahan asas sosialistis yang komunikatif dan aktif-resiprokatif.
Lahirnya pemahaman libertarianisme yang awalnya lahir di Inggris (lalu dihidupkan kembali oleh von Mises dan von Hayek) melahirkan kembali semangat kebebasan manusia. Akan tetapi, apakah individualitas semata yang dijadikan tumpuan bagi kebebasan umat manusia? hal itu adalah bersifat mikroskopik (sebut saja dimensi mikrokosmos). Hal itu adalah dasar namun pengembangannya akan selalu bertemu dengan ranah sosial. Manusia, selain pada dasarnya bebas, adalah makhluk sosial (zoon politicon). Individualitas yang tertutup sebagai dasar keadilan adalah asas yang semu dan bersifat reduksionistik. Individualitas yang terbuka adalah dasar bagi asas keadilan sosial, manusia saling membuka diri dan saling memahami tanpa adanya blok pemikiran dan gap kekayaan adalah asas bagi kebahagiaan manusia.
Keadilan di Barat yang awalnya berdasar pada dasar pemikiran homo homini lupus, dengan kata lain, adalah pandangan pesimistik akan dasar fithrah manusia itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh para malaikat yang memandang manusia secara pesimis dengan kalimatnya dalam surah al-Baqarah ayat 30. Dengan kata lain, pada dasarnya manusia adalah fithri namun persinggungan sosial (diawali dengan pranata sosial keluarga) membuat manusia menyimpang dari keadaan fithrinya. Dasar optimisme dalam penciptaan manusia, dengan kata lain, menjadi asas penting bagi manusia selain kebebasan itu sendiri. Kebebasan dan fithrah manusia yang bersih adalah asas yang penting bagi manusia itu sendiri.
Inilah yang dilupakan dalam konsep keadilan sosial dalam Islam. Perkembangan dialektika pemikiran keadilan sosial di Barat telah menyimpangkan asas keadilan sosial berdasarkan Islam: kebebasan dan fithrah manusia. Kini, keadilan sosial yang berkembang adalah berdasarkan pada pertumbuhan ekonomi. Konsep keadilan sosial seperti pada dasarnya telah menyimpang. Dan perlu dicatat, pertumbuhan ekonomi adalah indikator semata, bukan tujuan. Sayanya, kini indikator tersebut menjadi tujuan, pangkal berbalik menjadi ujung.
Seperti yang dikatakan sebelumnya, perkembangan pemikiran Islam dengan Barat berbeda satu sama lain, khususnya masalah hubungan agama dan ilmu pengetahuan. Dalam merespon ketidakadilan yang timbul akibat konsep keadilan sosial-ekonomi ala Barat, maka berkembanglah apa yang disebut dengan Islam Profetik. Hal ini harus dijelaskan secara singkat dan jelas.
Membekasnya ketidakadilan sosial ekonomi di Indonesia dapat diidentifikasikan pada dua hal. Pertama, sentimen politik dan budaya di masa lalu telah memberikan bekas luka yang menyisakan rasa perih bagi bangsa Indonesia sebagai akibat konflik politik masa lalu, terutama oleh persaingan kerajaan-kerajaan dalam berlomba mencari pengaruh. Perang pengaruh dan ekspansi penaklukan tersebut telah mempengaruhi segala tingkah laku dan kebiasaan masyarakat kita hingga saat ini, yang menyebabkan perkembangan keterbukaan perdagangan dan ekonomi di masa lalu menjadi terhambat hingga kini. Trauma ini melahirkan budaya yang mementingkan budaya dirinya sendiri dan cenderung mengisolasi diri akibat sentimen politik yang telah menjadi alam bawah sadar kebudayaan suatu tempat.
Kedua, datangnya VOC dan berbagai ekspansi kolonial baik itu Belanda,Inggris, Belanda-Prancis, telah menimbulkan apa yang disebut ‘dualisme ekonomi’. Kesenjangan antara dua kebudayaan mempengaruhi perkembangan ekonomi saat itu. Barat dengan pemahamannya terutama berdasarkan rasionalitas ekonomi ala Barat yang ekspansionis-merkanitilis dan bercorak monetis-kapitalistik, menggempur ekonomi Nusantara yang didasarkan pada ekononi subsistensi, feodalistik-agraria dan berbasis pertanian. Seperti yang dihadapkan pada sejarah perkembangan keadilan sosial ekonomi di Barat, dualisme antara pemikiran ekonomi Eropa Kontinental dan Britania Raya, dimasukkan ke dalam kehidupan ekonomi di Nusantara, telah melahirkan berbagai ekses negatif ketidakadilan sosial. Kecenderungan eksploitatif baik akibat perkawinan ekses feodalisme dan kapitalisme telah membuat Indonesia jatuh ke dalam status ‘bangsa kuli dan kuli bangsa-bangsa’.
Selama berabad-abad Indonesia mengalami berbagai permasalahan kompleks, dari perpecahan politik masa lalu, eksploitasi, dan perselingkuhan feodalis dan kapitalis telah membuat daya produktivitas bangsa yang telah terkungkung sebagai kuli bangsa-bangsa merosot drastis. Ini bisa kita lihat misalkan dari Tanam Paksa hingga Program Liberalisasi Ekonomi kolonial yang salah kaprah. Akibatnya berbagai instrumen seperti pajak tanah, kewajiban masyarakat menanam seperlima dari tanahnya untuk komoditas ekspor, dan sewa tanah, telah menyebabkan proletarisasi setengah-setengah, dia pemilik tanah namun di sisi lain menjadi buruh bagi tanahnya sendiri atau tanah orang lain. Kekuatan perdagangan bangsa telah lama mati akibat monopoli VOC dan pelayaran Hongi yang menghancurkan segala kapal-kapal pengangkut pembawa barang dagangan penduduk pribumi. Di sisi lain, kebijakan liberalisasi pasca-tanam paksa malah melindungi para pengusaha sehingga apa yang disebut persaingan pada dasarnya tidak ada. Yang ada adalah perselingkuhan pemerintah kolonial dengan para pengusaha pencari rente, dengan menghisap penduduk yang semakin menurun daya produktivitasnya, menjadi kuli yang seburuk-buruknya.
Hatta telah memahami bahwa keadaan ini telah memperburuk daya kemauan dan kebebasan manusia Indonesia dalam bekerja. Trauma masa lalu, di mana meski mereka bekerja keras, pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa. Malah tenaga mereka menjadi bencana bagi mereka sendiri. Oleh karenanya, kemerdekaan politik adalah jalan masuk dalam membebaskan manusia Indonesia dari segala kungkungan dari luar sebelum mereka membangun daya kebebasan dan kemauannya bagi diri mereka sendiri. Alhasil, setelah merdeka, Hatta lebih cenderung ingin membangun koperasi untuk menghimpun masyarakat yang dinilai masih lemah menjadi satu kumpulan manusia Indonesia yang kuat. Organisasi ekonomi bagi masyarakat lema, dengan kata lain, menjadi satu kunci yang mau tidak mau harus dilakukan. Tujuannya satu: membebaskan manusia Indonesia, dan membangun kemauan untuk bekerja. Maka dari itu, Koperasi merupakan dasar ekonomi dengan basis lahirnya pada masyarakat madani.
Namun, usaha tersebut runtuh akibat perkembangan politik yang tidak sehat. Perselingkuhan negara dengan pengusaha masih sering terjadi, malah semakin parah. Akibatnya, ketertindasan manusia Indonesia semakin berada pada titik paradoks: di era kemerdekaan, kita mengalami ketidakmerdekaan!
Indonesia yang memasuki era globalisasi ekonomi modern dan modernisasi faktor produksi (manajemen, teknologi alat produksi dan digitalisasi) telah menyebabkan ketidakadilan yang semakin tidak terbendung. Yang kuat semakin kuat, yang lemah semakin lemah. Liberalisme yang kita hadapi kini menghadapi dua dilema: kebebasan manusia dan penindasan terhadap manusia lain akibat kebebasan itu sendiri. Perlu untuk dipertanyakan: di zaman semodern kini, mengapa ketidakadilan itu selalu ada, malah semakin menganga?
Islam sebagai satu ajaran agama yang komprehensif mengandung pengajaran nilai-nilai keadilan itu sendiri. Akan tetapi, pengajaran akan nilai keadilan sosial ekonomi itu sendiri terlupakan sebagai akibat dari ‘sekularisasi terselubung’ dengan membekunya kebebasan berpikir, yang berujung pada pengungkungan nilai kebebasan manusia itu sendiri. Liberalisme sebagai dasar filsafat kebebasan manusia, oleh karenanya harus dirombak total.
Respon para pemikir Islam sendiri mengenai berbagai ketidakadilan sosial ekonomi akibat ketertindasan struktural menimbulkan pertanyaan sendiri dari ajaran agam itu sendiri, mengapa Islam tidak dapat merespon secara konkret terhadap ketidakadilan dan ketertindasan sosial ekonomi? Teologi Pembebasan oleh Pastor Gutterez di Amerika Latin telah banyak menginsprasi banyak orang dalam memahami agama bagi para kaum tertindas. Pada akhir dekade 1980-an, dalam suatu simposium nasional Teologi Pembangunan, lahir Konsepsi Teologi Transformatif yang dicetuskan oleh alm. Moeslim Abdurrahman. Teologi Transformatif ini menjadi dasar bagi berkembangnya pemikiran Islam Transformatif.
Teologi Transformatif merupakan respons terhadap perkembangan agama yang cenderung kurang responsif terhadap ketidakadilan sosial ekonomi. Perkembangan modernisasi dan industrialisasi telahmelahirkan kehidupan yang serba mekanistik dan dingin. Ketidakadilan seakan menjadi bagian dari kesejahteraan itu sendiri. Akibatnya, apa yang disebut kebebasan manusia adalah semu dipandang dalam kacamata ilmu ekonomi yang serba reduksionis dan simplifistik. Atau dengan kata lain, terjadi dehumanisasi dalam era industrialisasi. Teologi Transformatif adalah respon dalam menanggapi perkembangan zaman yang semakin terang menuju dehumanisasi. Wacana teologi seringkali dinilai sebagai ajaran yang sudah baku dan final, padahal pemahaman akan teologi yang merupakan bagian dari nafas keilmuan, akan selalu berkembang (atau semakin lengkap melengkapi). Pamahaman akan teologi yang cenderung kaku dan normatif-abstrak, bergeser menjadi teologi yang fleksibel dan empirik-abstrak yang bersifat responsif.
Islam transformatif yang berkembang merupakan respon para pemikir Islam di mana mereka memakai ilmu sosial transformatif yang tidak seperti ilmu-ilmu sosial akademis dan ilmu sosial kritis, yang tidak hanya berhenti pada tataran penjelasan fenomena sosial, tetapi juga berupaya untuk mentransformasi keadaan sosial yang dihadapinya. Dengan kata lain, Islam Transformatif mempermasalahkan ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Dengan kata lain, nilai-nilai ajaran Islam yang disampaikan melalui wahyu-wahyu profetik kenabian dalam al-Qur’an dan Sunnag berusaha untuk menjadi konsep bagi perubahan sosial di masyarakat secara konkret.
Dalam perkembangan Islam transformatif, berkembang dua jenis pergerakan: Islam Aksi dan Ilmu Sosial Profetik. Lahirnya Islam Profetik merupakan konsekuensi dari gerakan intelektual yang digulirkan oleh Kuntowijoyo dalam teori ilmu sosial profetik. Kuntowijoyo lebih menekankan pada gerakan intelektual dan keilmuan dalam mengkoreksi ilmu sosial yang kini berkembang berparadigma Barat, sehingga seringkali pemahaman keilmuan ala Barat terbentur dengan keadaan yang ada di lapangan. Dengan kata lain, ilmu sosial profetik adalah ilmu sosial yang berisfat mengkritik dan mengoreksi ilmu sosial Barat sekaligus berusaha ‘me-middle-range-kan’ nilai-nilai profetik Islam menjadi suatu teori sosial, yang kelak dapat dipakai sebagai landasan transformasi dan perubahan sosial di masyarakat.
Tujuan dari gerakan intelektual ilmu sosial profetik dapat dilihat dari tiga pilar penting. Pertama, humanisasi dan emansipasi, yaitu teori sosial yang diciptakan merupakan usaha untuk memanusiakan manusia, terbebas dari segala kungkungan dehumanisasi di era industrialisasi dan digitalisasi dan mengangkat derajat manusia dari segala pola pikir yang mereduksi kemanusiaan sekedar sebagai alat industri yang dingin dan kejam. Konsekuensinya, adalah dengan adanya tujuan kedua: Liberasi. Liberasi adalah usaha pembebasan manusia dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi dan pemerasan kelimpahan.
Dan ketiga, adalah transendensi. Peradaban Barat pasca-renaisans merupakan bentuk sekularisasi secara perlahan menuju sekularisme, sehingga nilai-nilai agama yang transenden menjadi terpisah sama sekali dalam perkembangan ilmu. Akibatnya, ilmu-ilmu yang berkembang di Barat didasarkan pada postulat (atau adagium) ‘ilmu adalah bebas nilai’. Perbedaan pola perkembangan keilmuan antara masa peradaban Islam dan Barat adalah nilai-nilai ajaran Wahyu. Berbeda dengan sistem teokratis ala gereja Barat, Islam merupakan sumber ajaran otoritatif dalam merangsang hasrat keilmuan manusia untuk selalu mencari dan melengkapi kebenaran. Sehingga, semangat mencari itu melahirkan perkembangan ilmu dari berbagai segi. Sayangnya, sekularisasi terselubung berdimensi waktu melahirkan jarak yang begitu lebar antara ajaran Islam yang universal dan kenyataan realitas kekinian. Dengan kata lain, ajaran Islam tidak mengalami dinamisasi keilmuan, dan melahirkan kebekuan ajaran Islam dalam perspektif ilmu.
Transedensi merupakan usaha mensubstansialisasikan nilai-nilai ajaran Tuhan berdasarkan Wahyu-Nya atau menurut Abdul Munir Mulkhan, sufistisasi keilmuan, yaitu memberikan ruh dimensi ketuhanan yang yang transenden dalam kebudayaan pada tataran keduniawian. Terpisahnya ruh ketuhanan di dalam tataran keilmuan melahirkan ilmu yang buta, atau bisa dikatakan bahwa dalam tataran aksiologi akan membuahkan hasil yang menimbulkan ketimpangan sosial. Namun, para ilmuwan yang mengkritisi keilmuan yang berkembang di Barat mulai mengkritisi dalam sisi epistemologi keilmuan yang cenderung antroposentris dengan mengorbankan sisi kosmologi dan teologis.
Oleh karenanya, dengan mengembangkan ilmu sosial profetik ini, diharapkan ilmu sosial yang dikembangkan tidak hanya semata untuk memenuhi kebutuhan ilmu itu sendiri berupa eksplanasi fenomena sosial semata, tetapi berbuah transformasi nyata dalam mengubah keadaan sosial masyarakat yang tertindas menuju pembebasan. Oleh karenanya, kosakata liberal tidak lagi hanya mempertahankan kebebasan dalam mempertahankan status quo bagi si pihak kuat dan mengabaikan si pihak lemah, tetapi juga berupa gerakan pembebasan kaum lemah dan tertindas hingga mereka mencapai derajat kesetaraan dan dapat menggunakan kebebasan dan kemauannya. Keadilan sosial, tanpa adanya kebebasan dan pembebasan, maka hal itu hanya bersifat semu. Oleh karenanya, profetik kenabian berupa risalahNya dalam al-Qur’an diharapkan dapat dikembangkan sebagai bahan bagi perubahan sosial yang konkret dalam mengangkat kaum mustadh’afin, menuju keadilan sosial ekonomi yang hakiki.








