-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Mengenal Postkolonial dan Nasionalisme Indonesia



Mengenal Teori Postkolonial

Marry-Jane Collier seorang professor komunikasi dari Indiana State University dalam penelitiannya yang berjudul Researching Cultural Identity: Reconciling Interpretive and postcolonial Perspective menunjukkan bahwa untuk menjelaskan postkolonialisme digunakan kata “korban”, “kekuasaan”, dan “pembusukan identitas”

Postcolonial is regarded as the need, in nations or group which have been victims of imperialism, to achieve an identity uncontamined by universalist or eurocentric (dalam penelitian ini: Barat) concepts and images

Kegunaan teori ini sendiri menurutnya :

Make visible the ways in which oppression (Resistance) occurs and to help people “invent a shared image through which they could act to liberate themselves from imperialist oppression..”

Sehingga ketika mengacu kepada pertanyaan apakah postkolonialisme itu semacam teori atau praktik? Maka pada awal kemunculannya, postkolonial dikategorikan sebagai perlawanan fisik dan mental, yang dipraktikkan dalam semangat untuk mengurangi aroma kolonial dalam pembentukan sebuah bangsa baru. Perlawanan reklames, melalui pemurnian ideologi yang tersusupi secara diam-diam oleh ideologi bangsa asing, penumbuhan sifat patriotis, dan menghindarkan diri dari jebakan postkolonialis yang dikampanyekan pada konsep demokrasi, good governance, liberalisasi, gaya hidup, berserta teks-teks yang menyertai item-item tersebut.

Akan halnya, selanjutnya postkolonialisme mendapatkan perhatian khusus sebagai alat akademis yang menemukan ruang dalam teori-teori antistrukturalis. Kegegabahan yang dekonstruktif itu –dengan kata lain apa boleh buat- sama dengan penemuan kembali batas antara elu-gua dalam kajian Timur dan Barat. Filsafat antistrukturalis mengejewantahkan segala yang mampir melaluinya sebagai eureka terbaru kado abad 21. Sifat tanpa batas ontologis yang meyakinkan dari proses dekontruksi berturut-turut dalam teks sejarah akademis, telah melahirkan apa yang disebut dengan teori postkolonial. Tidak berbeda dengan teori tentang ciuman, teori postkolonial diperkenalkan melalui studi-studi sastra oleh beberapa orang berkulit sedikit gelap seperti: Gayatri Spivak, Homi Khalid Bhaba, Edward William Said, dan Frantz Fanon.

Said, Bhaba, dan Spivak disebut-sebut sebagai “holy trinity of colonial discourse analysis”. Mereka bertigalah tokoh-tokoh sentral dalam studi ini. Mereka disebut juga sebagai “post-colonialist theory”, para teorisi penggugat kolonialisme. Mereka adalah para intelektual produk “dunia ketiga” yang bekerja dan berkarya dalam ruang lingkup studi literer universitas “dunia pertama”. Edward Said adalah orang Palestina dan Gayatri Spivak adalah orang India. Keduanya mengajar sastra Inggris dan sastra Perbandingan di Universitas Columbia. Homi K. Bhaba juga seorang India yang mengajar sastra Inggris di Universitas Sussex.

Melalui penelusuran kembali identitas teritoris yang tercecer selama masa pendudukan, para teoritisi di atas mencoba menemukan akar –suatu sebab, suatu daya ingat, reposisi dan pembentukan kembali wibawa keilmuan mereka sendiri. Di bawah payung cultural studies, studi postkolonial terhimpun sebagai ramuan tentang resistensi terhadap kekuasaan. Ahmad Sahal mengutip Simon During dalam pengantar buku The Cultural Studies Reader (1993) menyebutnya:

Cultural studies jalur kedua, yang mendapat banyak pengaruh dari pemikiran poststrukturalisme Perancis, terutama Michel Foucault, menggeser perhatiannya dari kontra hegemoni dan resistensi terhadap kuasa “dari atas” menuju perayaan terhadap kemajemukan satuan-satuan kecil. Kebudayaan dilihat sebagai wacana pendisiplinan dan normalisasi, yang tidak tepat dihadapi dengan macro-politics karena relasi kuasa bukanlah melulu bersifat vertikal (negara versus masyarakat). Bagi Foucault, kekuasaan bersifat menyebar dan merata dalam setiap hubungan dalam masyarakat, dan karena itu hanya bisa dihadapi dengan semacam micro-politics, yang pernah dirumuskannya sebagai insurrection of the subjugated knowledges (membangkitkan pengetahuan-pengetahuan yang tertekan). Pada titik inilah cultural studies tegak berdiri. Kajian-kajian dengan label multikultural postkolonial, feminis, gay dan lesbian, etnik dan kulit berwarna, untuk menyebut beberapa yang menonjol, adalah upaya membangkitkan pengetahuan tertekan itu.

Tanpa harus berbasa-basi menunjukkan relasi antara cultural studies dengan postkolonial, kutipan di atas memang mencoba menunjukkan bahwa cultural studies membuka ruang disiplin bagi postkolonial. Mengembalikan kendali pada politik mikro di masyarakat sendiri, menumbuh tanamkan kesadaran dan sisi legalis pengetahuan asli kaum pribumi tentang sesuatu yang pantas atau tidak pantas untuk mereka. Dan hal semacam itu membentuk identitas kebangsaan yang sangat hybrid dan unik. Penemuan kembali identitas lampau –pasca relasi hegemoni, pemerintah, dan sejarah, bukan berarti kembali kepada kemurnian genealogis suatu bangsa. Tidak dengan perangkat pengetahuan yang bias Yunani kuno atau Jawa kuno dalam pemahaman suprasturuktur politik kebangsaan, tentang republik, atau demokrasi, atau aritokrasi, lebih-lebih feodalisme aneh yang pernah diujicobakan di Indonesia, namanya: asas tunggal.

Postkolonialisme sebagai dekolonialisasi -sekali lagi bukan panasea dari langit untuk bebas memilih ideologi semudah belanja di Mall, untuk kemudian menjadi bangsa yang kuat dan sehat. Ada kecenderungan terbuka dalam membentuk identitas postkolonial yang benar, sifat proyektifnya sendiri telah dengan tegas menunjuk kepada warga negara –bahasa asyiknya kepala-kepala yang ada di suatu daerah tertentu, untuk berpikir sepadan dengan jaman yang berlaku pada mereka. Berikut juga dengan media-media yang bertebaran di sekeliling mereka, budaya massa, gaya hidup, internalisasi politik pemerintah, serta sejarah yang diajarkan kepada mereka.

Kolonialisme dan Sejarah yang Goyah

Sebut saja. Pergolakan sejarah adalah pergolakan mengenai pertentangan dan perpaduan impian manusia melalui aksi yang aksidental dan terkadang satiris. Contohnya, kaisar Perancis, Napoleon Bonaparte, pada abad 19 dan awal abad 20, seorang Sisilia yang bertubuh pendek itu tidak akan pernah menyangka bahwa pasukan “kecil” pimpinannya akan mengubah sebagian besar peta Eropa. Jauh beberapa abad sebelumnya dan sesudahnya. Perancis dikenal sebagai negara yang terkolonisasi beberapa kali oleh berbagai bangsa, seperti Romawi, Inggris, dan Jerman. Oleh karenanya rasa nasionalisme itu terbentuk setelah sekian ratus kampanye pertempuran berdarah.

Dan propinsi lain adalah jajahan yang tidak memiliki akar sejarah yang pasti, –tidak ada nasionalisme yang harus diperjuangkan. Pada saat itulah nasionalisme untuk membebaskan berubah menjadi nasionalisme untuk mengekang, bahkan untuk bangsa sendiri.
“Boulainvilliers berpendapat bahwa rekan-rekannya, kaum bangsawan tidak memiliki asal-usul yang sama dengan rakyat Perancis, memecah belah bangsa dan mencanangkan adanya pembedaan yang menyangkut asal-usul,”


Pada abad 21 ini, Perancis yang kita ketahui adalah Perancis dengan Paris sebagai kota mode tempat perancang busana terkenal Chanel, Dior, dan Yves Saint Laurent menetap. Tempat berlangsungnya Piala Super Eropa di Stade Louis Monaco. Tempat heroisme tentara sekutu yang mendarat di pantai Normandia. Dan terlupakan bahwa Perancis masih aktif memainkan politik kolonialisme yang diwariskan semenjak berabad-abad lalu, sekaligus menjadi bagian dari bangsa yang terkolonisasi oleh bangsa pembebasnya pada saat perang dunia II: Amerika Serikat. Tapi siapa yang tahu? Semuanya lupa. Perancis terlalu gemerlap, atau memang sejarah tidak diajarkan –sengaja?

Contoh tersebut menggambarkan betapa sejarah tidak melulu heroik melainkan terselip beberapa antagonisme yang kadang tenggelam dari catatan. Sejarah memang sulit dipercaya, keterikatan sejarah, pelaku sejarah, dengan para pembaca sejarah, terkadang dipisahkan oleh realitas-realitas yang senjang, misalnya bahasa. Sejarah dapat hadir dalam bentuk catatan romantis dan puitis, dan gambaran didalamnya tentu saja harus damai dan indah-indah. Penuh dengan dongengan mengenai kejahatan versus kebaikan tanpa melihat apa yang terjadi secara obyektif. Sebagai ilustrasi kecil, catatan sejarah mengenai perang dunia II tentu dipenuhi dengan heroisme pihak pemenang perang (dalam hal ini sekutu), ribuan orang tentara Amerika Serikat yang mati digambarkan sebagai pahlawan, namun jutaan rakyat Jepang yang mati di Okinawa, Saipan, Hiroshima dan Nagasaki hadir sebaliknya. Begitu pula nasib para prajurit Italia atau Jerman didalam catatan sejarah.

Distortifkah? Mungkin lebih tepat “ambigu” mengutip Foucault, bahwa relasi kekuasaaan lebih mendasari terbitnya sejarah. Selera penguasa pada sejarah itulah yang akan didapatkan pembaca sejarah. Faktor lainnya ialah kepentingan yang relatif satu kamar dengan kekuasaan. Dan kepentingan ini hadir lebih disengaja dari bahasa. Luka lama atau kecacatan suatu bangsa tentu tidak mudah terkuak dan dijelaskan melalui catatan sejarah secara telanjang bulat sebulat-bulatnya. Bangsa tersebut secara kolektif menyepakati rumusan sejarah yang “disesuaikan” dan hadir dalam bentuk kompromis serta tidak memalukan. Namun kejanggalan-kejanggalan akan tetap terbawa didalamnya. Maksud saya, siapa yang menjamin gosip bahwa Perang Teluk 1990-1994 muncul bukan karena kecentilan Saddam terhadap Kuwait. melainkan dikarenakan keengganan Amerika Serikat untuk memusnahkan produk senjata yang telah mereka buat selama perang dingin.  Amerika Serikat menjual senjata tersebut dan mengobarkan perang demi meraih keuntungan. Maka kembali cacatlah catatan sejarah, dan sedikit yang mau tahu kebusukan “kepentingan” yang mengobok-obok sejarah.

“Sejak perang dunia ke-1 para sejarawan Amerika menawarkan kepada presiden Wodrow Wilson untuk menjalankan tugas yang mereka namakan ‘penukangan sejarah’ (Historical enginering) Yang mereka maksudkan ialah bagaimana mendesain fakta-fakta sejarah…pada tahun 1921 wartawan Amerika terkenal Walter Lippmann, yang mengatakan bahwa seni demokrasi menuntut apa yang disebutnya ‘pabrik kesepakatan’, istilah ini merupakan euphemisme Orwell untuk istilah ‘pengendalian pemikiran’…”

Penukangan sejarah, pabrik kesepakatan, juga pengendalian pemikiran merupakan konotasi bagus dari alat-alat kelengkapan postkolonialisme. Sejarah di hapus, sejarah di perbaiki, sejarah di rekayasa. Sebagai landasan utama munculnya rasa nasionalisme dan kebangsaan, menghapus akar sejarah suatu bangsa yang torkolonisasi, akan menjadikan bangsa itu kehilangan identitas kultural postkolonial yang otentik. Efeknya merasuk kedalam manusianya. Penukangan yang salah terhadap sejarah bangsa sendiri, melebarkan jarak kesepahaman rasa nasionalisme kepada generasi pelanjut. (af/net)

Related Posts

Subscribe Our Newsletter