-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Wajah Condet, Dulu dan Kini

Gambar: Amak Fizi
Bagi Anda yang sedang kuliah di Unindra PGRI atau tinggal di kelurahan Kampung Gedong dan sekitarnya, nama Condet tentu tak asing lagi sebab daerah yang dulunya kawasan cagar budaya ini menjadi salah satu ikon Jakarta. “Condet” begitu kira-kira orang mengenalnya, daerah ini merupakan kawasan perkampungan masyarakat Betawi. Tepat ditengah mengalir sungai Ciliwung, sungai yang sering muncul di TV karena banjir. Sungai ini membelah Condet menjadi dua bagian, satu diwilayah Jakarta Selatan dan yang lainnya di Jakarta Timur. Wilayah Condet membentang dari  sebelah barat berbatasan dengan Jl Buncit Raya hingga Jalan Raya Bogor disebelah timur dan dari  Kecamatan Pasar Rebo disebelah selatan hingga Wilayah Cililitan disebelah utaranya. 

Untuk menuju ke wilayah Condet bagian Timur rutenya sangat mudah, jika Anda  dari bagian utara bisa melalui PGC Cililitan melalui Jalan Raya Condet  dan bila dari arah selatan bisa melalui PP plaza Jalan Raya Simatupang masuk melalui Jalan Raya Condet juga. Dan Wilayah Condet Bagian Selatan dapat dengan mudah masuk dari arah mana saja, pokoknya Condet Pejaten ada di Kecamatan Pasar Minggu.
Asal Usul Condet

Asal usul Condet belum diketahui secara pasti karena belum ada catatan resmi yang membuktikan, kampung yang kini lebih dikenal dengan “Kampung TKI” ini menjadi salah satu daerah yang wajib anda ketahui asal usulnya. Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat kata Condet berasal dari nama Pangeran Geger atau Ki Tua yang memiliki codet (bekas luka di wajahnya), beliau dikenal sakti dan sering muncul didaerah Batu Ampar, Pejaten, dan Balekambang.

Sedangkan menurut tokoh Betawi asli “Ridwan Saidi”, daerah Condet merupakan tempat di mana negara Salaknegara berada. Salakanegara adalah kerajaan pertama yang berdiri di tanah Jawa pada tahun 130 Masehi. Bahkan jika ditengok kebelakang, berdasarkan temuan arkeologis, daerah Condet telah dihuni manusia sejak jaman Neolitikhum (3000-3500 tahun lalu). Ridwan kemudian mengaitkan dengan nama-nama bermakna sejarah di Condet seperti Batu Ampar yang berarti batu tempat meletakan sesaji dan Bale Kambang yang merupakan pesanggrahan para raja jaman dulu. Ada juga beberapa pendapat mengenai asal mula nama buah salak, konon nama itu juga berasal dari kata Salaknegara.

Lebih lanjut Ridwan Saidi menyebutkan bahwa Jakarta ini sudah dihuni dan didatangi oleh masyarakat jauh sebelum kerajaan Tarumanegara berdiri yaitu pada abad ke-5 Masehi. Untuk daerah Condet sendiri, Ridwan Saidi memiliki kesimpulan bahwa daerah ini berasal dari kata Ci Ondet. Ci berarti air atau kali seperti nama kali lain, Ciliwung, Citarum, Cisadane dan sebagainya. Sementara Ondet atau Odeh adalah nama pohon sejenis buni. Pada masa dulu di sepanjang aliran kali Ciliwung yang lewat kesana banyak ditemukan pohon Ondet, sehingga disebut Condet.

Namun walau pun demikian, ada beberapa catatan tertulis penting yang berkaitan dengan daerah yang dahulu dikenal sebagai penghasil salak ini. Data tertulis pertama yang menyinggung Condet adalah catatan perjalanan Abraham van Riebeek, yang pada waktu itu menjabat sebagai direktur jenderal VOC (sebelum menjadi gubernur jenderal). Untuk menempuh ke kantor pusat kegiatan VOC, pada tanggal 24 September 1709, Abraham van Riebeek beserta rombongannya harus berjalan kaki melewati anak sungai Ci Ondet. Jarak antara tempat tinggal Abraham van Riebeek-kantor pusat VOC mencapai 15 km.

Keterangan kedua terdapat dalam surat wasiat Pangeran Purbaya — salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Sebelum dibuang oleh Belanda pada April 1716, pangeran menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau di Condet kepada anak-anak dan istrinya yang ditinggalkan.

Keterangan ketiga, adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh pimpinan Kompeni di Batavia pada tanggal 8 Juni 1753. surat keputusan ini berisikan maklumat tentang penjualan tanah di daerah Condet seluas 816 morgen (52.530 ha) yang pada waktu itu dibeli dengan harga 800 ringgit kepada Frederik Willem Freijer. Daerah Condet sendiri berada pada tanah yang dijual tersebut, yang kemudian dimiliki oleh Frederik Willem Freijer seorang pengusaha swasta Belanda. Kawasan ini pun pada akhirnya dikenal sebagai bagian dari tanah partikulir Tandjoeng Oost (Tanjung Timur), atau Groeneveld.

Walau pun demikian, tidak ada data pasti sejak kapan atau bagaimana ceritanya Condet menjadi pemukiman orang Betawi. Namun daerah ini menyimpan sejarah menarik, salah satunya kisah Haji Entong Gendut. Haji Entong Gendut adalah Alim Ulama sekaligus pendekar yang disegani di Condet. Menurut Ran Ramelan, Haji Entong Gendut marah atas kesewenang-wenangan Kompeni dalam memungut pajak atau blasting kepada rakyat Condet.

Akhirnya, pada 5 April 1916 Haji Entong Gendut memimpin pemuda-pemuda Condet menyerbu sebuah Gedung bernama Villa Nova atau Groeneveld milik tuan tanah Belanda. Setelah berhasil memberi pelajaran kepada Kompeni, dimulailah babak heroik perlawanan masyarakat Condet pimpinan Haji Entong Gendut versus Kompeni. Menurut cerita, Haji Entong Gendut akhirnya tewas ditembak Kompeni lalu mayatnya dibuang ke laut. 

Gedung Villa Nova atau Groeneveld yang diserang oleh Haji Entong Gendut beserta pemuda Condet itu adalah gedung satu-satunya dan terbesar di daerah Condet ketika itu. Keberadaan gedung tersebut membawa ciri khas bagi daerah tersebut sehingga banyak masyarakat pada waktu itu memberi nama daerah tersebut dengan julukan sebagai Kampung Gedong. Dan penamaan ini masih bertahan hingga sekarang, terbukti dengan adanya kampung Gedong di wilayah Condet. Mengenai sejarah gedung Villa Nova atau Groeneveld yang menjadi asal mula terbentukya kampung Gedong memiliki kisahnya tersendiri. Gedung ini dibangun oleh Vincent Riemsdijk, anggota Dewan Hindia, sebagai perkebunan dan sekaligus peristirahatan. Setelah kematiannya, putranya Daniel van Riemsdijk, seorang petani andal, benar-benar mengurus perkebunan Tanjung Timur dan mengelolanya dengan baik. Pada waktu itu, 6.000 ekor sapi digembalakan di perkebunan ini, tempat yang sekarang berdiri gedung-gedung megah dan jalan raya dari Tanjung Timur ke Terminal Kampung Rambutan.

Keunikan Condet yang Perlu Kamu Ketahui
 
Sebagai salah satu perkampungan tua ditanah Jakarta.  Wilayah Condet  memiliki keunikan  tersendiri, berbeda dengan kota-kota Tua lainnya di Jakarta, bahkan hingga akhir tahun 1980an kita sulit menemukan bangunan-bangunan tempo Doeloe. nah untuk lebih jelasnya berikut keunikan Condet yang perlu Anda ketahui.

Cagar Budaya Buah-buahan
Keunikan wilayah Condet selanjutnya adalah kita yang masih dapat menemukan perkebunan Salak yang tidak ada didaerah lainnya di tanah Jakarta.  Meskipun pohon-pohon tersebut hanya tinggal beberapa gelintir saja. cukuplah untuk dijadikan bukti kejayaan sejarah salak Condet dimasa lalu.

Keberadaan awal mula Salak ini tidak diketahui secara pasti yang jelas merupakan sejarah kultural yang belum terungkap hingga sekarang yaitu tumbuh alami atau ada yang mengupayakannya sejak dulu seiring dengan penemuan-penemuan purbakala disekitar Condet.

Karena ketidakjelasan tersebut, maka di daerah Condet berkembang cerita-cerita rakyat yang menghubung-hubungkan riwayat tanaman ini dengan tokohnya hingga menjadi  aset budaya lokal yang turun-menurun dan patut pula menjadi bahan kajian selanjutnya. Namun seiring perkembangan zaman identitas Condet dengan kebun Salaknya semakin pudar.

Dilalui oleh Kali Ciliwung
“Condet” begitu kira-kira orang mengenalnya, daerah ini merupakan kawasan perkampungan masyarakat Betawi. Tepat ditengah mengalir sungai Ciliwung, sungai yang sering muncul di TV karena banjir. Sungai ini membelah Condet menjadi dua bagian, satu diwilayah Jakarta Selatan dan yang lainnya di Jakarta Timur. Di sekitaran kali Ciliwung ini tumbuh ribuan habitat yang perlu dilesatrikan untuk Jakarta yang aman dan bersih.

Masyarakat Betawi Condet Kini.

Perkembangan kota pada umumnya menyebabkan perubahan peruntukan lahan pertanian. Hal ini terjadi sebagai akibat meningkatnya tuntutan kebutuhan fasilitas perumahan, pesatnya pertumbuhan penduduk terutama yang disebabkan oleh urbanisasi, adanya kepentingan pembangunan fungsional lainnya, serta kesempatan pemanfaatan lahan yang rasional. Demikian pula keadaannya dengan kawasan Condet yang terdapat di Jakarta Timur, tidak luput dari pengaruh perkembangan tersebut.Masyarakat Betawi Condet merupakan suatu kesatuan dalam sistem hubungan sosial yang sangat erat serta memiliki mobilitas yang cukup tinggi. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya dalam masyarakat Condet terjadi pengaruh timbal balik yang cukup signifikan dengan lingkungan hidup serta kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya.

Dalam dua dasawarsa terakhir ini kawasan Condet telah mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang cukup pesat sebagai dampak langsung dari proses pembangunan yang berlangsung sejak tahun 1970-an.Pada awalnya banyak masyarakat Condet yang menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan. Tanah yang luas dan subur yang ditumbuhi oleh beraneka macam pepohonan berbuah memberikan hasil panen yang melimpah. Buah-buahan seperti duku, salak,mangga, nangka dan lain-lain adalah pemandangan yang tidak langka di daerah Condet ini.Selain menggantungkan kehidupan di sektor hasil perkebunan, masyarakat Condet juga banyak yang terlibat dalam produksi emping. Terdapat sejumlah home industri. Begitu bergairahnya industri ini berkembang hingga kebutuhan melinjo tidak tercukupi. Sebagian harus didatangkan dari Banten. Emping Condet terkenal gurih. Lebih gurih dari emping keluaran daerah lainnya. Karena, emping melinjo daerah lain sebelum digecek terlebih dulu melinjonya direbut. Sedangkan di Condet orang tidak merebusnya, melainkan digoreng dengan pasir sebelum digecek, sehingga rasanya lebih gurih. Lagi pula emping Condet lebih tipis dari emping keluaran tempat lain. Biasanya warga Condet membikin emping lebar-lebar, digoreng dilipat dua.Sampai saat ini di Jl Condet Raya masih dapat kita jumpai beberapa pedagang emping. Sedangkan salak dan duku Condet sudah sulit ditemui.

Di samping emping, ada satu jenis makanan yang boleh dikata asing ditempat lain dan hanya terdapat di Condet, yakni goreng jengkol yang sangat digemari orang. Condet, yang sampai awal 1990-an masih berudara nyaman, juga dikenal masyarakatnya pandai dalam membuat dan mengelola berbagai jenis kue. Pada hari raya Idul Fitri, misalnya, kita akan dapat menikmati dodol Condet yang warnanya kecoklat-coklatan, gurih dan manis. Rata-rata rakyat Condet pandai membuat dodol, makanan khas Betawi. Di samping dodol, kueh terkenal dari Condet adalah geplak. Dibuat dari tepung beras dan kelapa yang diparut.Gambaran umum lingkungan Condet dewasa ini sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan gambaran di atas. Pertumbuhan dan perkembangan Jakarta yang sangat cepat ikut mengakibatkan pola kehidupan penduduk Betawi Condet, terutama keadaan sosial ekonominya juga berubah. Dari hasil pendataan, masyarakat Betawi Condet yang bekerja di sektor pertanian yaitu 71,1 persen pada tahun 1967, menjadi12,6 persen pada tahun 1980. Jumlah ini semakin mengecil dan hilang pada akhir tahun 1990-an. Banyak penduduk asli yang meninggalkan pekerjaannya sebagai petani buah dan memilih pekerjaan lainnya di luar sektor ini. Mereka terpaksa mengalami kondisi seperti ini, karena adanya kebutuhan.

Perubahan terjadi menunjukkan Condet bukan lagi merupakan daerah pertanian yang masih didominasi oleh kebun buah-buahan, tetapi sudah menjadi suatu kawasan yang tidak banyak berbeda dengan daerah lainnya di dalam kota Jakarta. Yaitu dengan terdapatnya pemukiman yang padat beserta pola etnis penduduk yang beragam yang tidak lagi mnggantungkan kebutuhan hidupnya pada hasil kebunnya, melainkan kebanyakan bekerja di sektor urban.Pilihan pekerjaan yang mereka lakukan antara lain menjadi buruh, bekerja pada sektor jasa yang tersedia, terutama di pusat kota atau menjadi pedagang. Bagi mereka yang masih memiliki lahan perkebunan cukup besar, pada musim panen dmereka kembali menjadi petani. Pada petani buah dengan pemilikan lahan usaha stani yang terbatas, pilihan pekerjaan lain di sektor pertanian ini menjadi suatu hal yang penting. Dalam menghadapi kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, mau tak mau terdorong hasratnya untuk memilih pekerjaan lain di luar sektor usaha tani demi kelangsungan hidup diri dan keluarganya.

Aspek penting berkenaan dengan soal pemilikan lahan usaha tani masyarakat Betawi Condet setempat beserta pengalihan fungsi lahan, adalah masalah pewarisan. Fungsi pewarisan ini telah dilembagakan dalam pranata budaya setempat. Ketentuan laki-laki memperoleh lahan dua bagian sedangkan perempuan memperoleh satu bagian. Perwujudan pelaksanaan pranata sosial budaya mengenai pewarisan terlihat pada distribusi pemilikan dan luas lahan yang dimiliki masyarakt setempat. Sistem pewarisan yang dianut, secara alamiah ikut memberikan tekanan terhadap lahan usaha tani milik penduduk di kawasan Cagar Budaya

Refrensi
[1] Ridwan Saidi, Ibid.
[2] Ridwan Saidi beralasan tentang hal ini, kalau seandainya Jakarta belum dihuni oleh masyarakat buat apa raja Tarumanegara membangun bendungan dan irigasi. Lih, Ridwan Saidi, Op.Cit hal. 4-5.
[3] Tidak ada data-data tertulis mengenai asal usul penamaan daerah Condet. Keterangan bahwa kata Condet berasal dari dua suku kata yaitu ci dan ondeh hanyalah merupakan cerita masyarakat Betawi yang diwariskan secara turun temurun (oral history). Cerita ini pun bertahan sampai sekarang, lebih lanjut mengenai hal ini atau pun tentang asal usul daerah lainnya di Jakarta dapat dilihat dalam www.beritaJakarta.com.
[4] Alwi Shahab dalam Republika, 11 Nopember 2001.
[5] Ibid.
[6] Lebih jelasnya dapat dilihat dalam www.bluefame.com.
[7] Ran Ramelan adalah salah satu dari sekian penulis yang mengabadikan kehidupan masdyarakat Betawi Condet dalam sebuah buku. Untuk lebih jelasnya silahkan baca dalam Ran Ramelan, Condet, Cagar Budaza Betawi. Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Yakarta, tanpa tahun.
[8] www.bluefame.com
[9] Republika, 4 Nopember 2007


Related Posts

Subscribe Our Newsletter