![]() |
Gambar: Google / Edit: Amak Fizi |
Menurut Rinkes ada motif politik dari sikap Tjokroaminoto yang mulai mengusung Pan Islamisme dan pro Turki. Menurutnya faktor penyebab dari hal tersebut adalah ketergantungannya dengan saudagar kaya keturunan Arab di Surabaya yang selalu menyuplai dana untuk pergerakan SI. Namun Korver menolak pandangan ini, menurutnya Tjokroaminoto menganggap Pan Islamisme sebagai fokus perjuangan politik SI karena akan menghadirkan ‘benih-benih demokrasi’ yaitu rasa persamaan antar umat manusia. Jadi dalam pemahaman ini lebih tepat diintepretasikan bahwa ia mencoba menginisiasi Islam sebagai sarana persatuan bangsa dan jalan perjuangan menuju kemerdekaan.
Pan Islamisme adalah suatu ide pembaharuan Islam yang digulirkan oleh Jamaludin Al-Afgani. Al-Afgani adalah seorang sayyid (memiliki garis keturunan ke nabi Muhammad) lahir pada tahun 1839 dan wafat pada tahun 1897. Ia merupakan pemikir sekaligus aktivis politik yang berasal dari Afganistan. Ide-ide pembaharuan keislamanya merupakan hasil refleksi atas kondisi umat Islam yang semakin terpuruk terutama pasca kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa.
Ide Pan Islam Jamaludin Al-Afgani sangat erat kaitannya dengan posisi kekuasaan Turki Usmani. Khilafah Turki Usmaniah yang kala itu dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid II sangat gencar dalam menggulirkan Pan Islamisme yang secara sederhana ditafsirkan sebagai gerakan persaudaraan muslim se-dunia. Secara politis, Sultan Abdul Hamid II menggunakan ide ini untuk mengangkat dirinya sebagai simbol persatuan umat. Namun, ketika melihat adanya penyimpangan yang dilakukan oleh rezim sultan, ia mulai menarik diri dari idenya tentang negara Pan Islamisme sebagai kerangka institusional bagi masyarakat muslim.
Menurut Azumardi Azra inti Pan Islamisme Al-Afgani terletak pada ide bahwa Islam adalah satu-satunya ikatan kesatuan kaum Muslim. Sebaliknya perselisihan dan perpecahan di kalangan kaum muslim hanya akan membawa umat pada stagnasi dan kelemahan. Pemikiran inilah yang menyadarkan banyak aktivis pergerakan di negara-negara muslim yang sebagian besar berada di bawah kekangan kolonialisme kaum Eropa. Atas jasanya inilah, sehingga Al-Afgani menurut Azra dianggap sebagai pembuka jalan
renaisans Asia.
Pemikiran inilah yang menjadi fokus Tjokroaminoto dalam fase ini. Setelah merasakan kekecewaan yang mendalam terhadap pemerintah kolonial dan juga pertentangan yang tak pernah usai dengan golongan komunis, Tjokroaminoto mulai menyandarkan pemikiran politiknya kepada ajaran Islam. Tjokroaminoto berkomentar tentang perkembangan Pan Islamisme dalam bukunya sebagai berikut:
"Sekarang ini kita sudah melihat dan menyaksikan juga tanda-tandanya: rasa Pan Islamisme sudah hidup lagi, sekarang di negeri-negeri Islam sudah ada pergerakan Pan Islamisme, dan pergerakan ini makin lama makin maju, makin kuat dan bagus susunan organisasinya. Malahan di Hindustan kira-kira semenjak sepuluh tahun hingga sekarang ini sudah ada satu pergerakan Ahmadiyah Andjumani Ishaat-i-Islam yang dengan amat rajin dan berani melakukan propaganda Islam di seluruh dunia, sehingga sudah tidak sedikit lagi jumlah orang-orang dari lain agama yang masuk memeluk Islam, di antaranya ada beberapa orang ternama dan terpelajar".
Dari pendapat di atas dapat dilihat begitu optimisnya Tjokroaminoto terhadap gerakan Pan Islamisme. Dalam berbagai kesempatan ia selalu menjadi agitator dalam menyebarkan paham ini. Karena dalam pemikiran Tjokroamnioto masih dalam buku yang sama, Pan Islamisme membawa semangat nilai yang sama dengan era Rasulullah dan juga Khulafa Rasyidin . Era itu menurut Tjokroaminoto adalah kondisi ideal yang harus menjadi rujukan kehidupan umat Islam. Karena dalam masa inilah ajaran Islam dapat terkristalisasi dalam kehidupan keseharian, masyarakat hidup dalam satu kondisi yang aman, tentram, dan sejahtera. Fase inilah yang juga menjadi rujukan Cak Nur tentang masyarakat ideal yang disebut dengan masyarakat Madani. Tjokroaminoto berpendapat kebesaran umat Islam pada masa itu disebabkan oleh agamanya, serta kebesaran Islam itu cuma akan bisa datang kembali lagi dengan usahanya Pan Islamisme.
Perlu digarisbawahi, walaupun pemikiran pan Islamisme itu muncul dan berkembang di Timur Tengah terutama oleh para pemikir dari Mesir seperti Al Afgani dan Abduh, namun Tjokroaminoto jarang secara eksplisit merujuk pada pemikiran mereka. Malah, Tjokroaminoto mengaitkan antara Pan Islamisme dengan gerakan Ahmadiyah di India sebagaimana tertulis dalam kutipan di atas. Hal ini dapat dikorelasikan dengan keterbatasannya dalam penguasaan bahasa Arab, karena tentunya karya-karya pemikir Timur Tengah ditulis dalam bahasa Arab. Selain itu, Tjokroaminoto memiliki hubungan dekat dengan Hasan Ali Sourati yang berasal dari India, sangat mungkin Tjokroaminoto mendapatkan informasi tentang India dari tokoh ini. Sehingga dalam pemikiran Pan Islamisme Tjokroaminoto memiliki kelemahan konseptual dari sumbernya di Timur Tengah dan sangat memungkinkan adanya distorsi dari ide awal Pan Islamisme di daerah asalnya.
Pemerintah kolonial Belanda memiliki ketakutan yang besar terhadap usaha Tjokroaminoto yang secara tegas mengusung ide Pan Islamisme. Hal ini adalah imbas dari trauma terhadap Perang Aceh yang telah menghabiskan begitu banyak tenaga dan materi mereka dalam waktu yang begitu lama. Kekuatan Aceh jelas-jelas adalah juga bantuan dari kekuatan Islam dalam hal ini Turki Usmani yang merupakan pusat pemerintahan kekhilafaan Islam. Sehingga tak heran ketika H.A.R Gibb menerangkan tentang Pan Islamisme adalah “memberikan khotbah tentang doktrin kesetiaan kepada khalifah Ottoman terutama sebagai kepala negara Islam yang paling berkuasa, karenanya penguasa itu paling cocok untuk mengarahkan dan mengkoordinasi kekuatan–kekuatan politik orang-orang Islam”.
Pemikiran Tjokroaminoto mengenai Pan Islamisme terus mengkristal dalam tubuh SI. Hal ini tercermin dari tulisannya dalam ‘Tafsir Program Asas dan Program Tandhim Syarikat Islam’ yang dibuat pada tahun 1931. Karya inilah yang menjadi sandaran nilai dan gerak para kader SI dalam berorganisasi. Tjokroaminoto dalam episode ini mencoba memberikan role of game untuk SI agar tidak keluar dari pemikiranya. Ia mencoba mengkaitkan antara politik dan juga Pan Islamisme sebagai sebuah cita-cita. Dalam buku ini ia menulis sebagai berikut:
"Perinsip ini erat hubungannya dengan masalah kehidupan bangsa dan negeri tempat Tumpah Darah kita sendiri, dan dalam pengertian prinsip ini juga termasuk suatu sikap politik yang bertujuan untuk mencapai persatuan dan kesatuan ummat Islam yang berada di lain-lain negara (Pan Islamisme)".
Jadi dalam pemahaman Tjokroaminoto perjuangan politik memiliki dua tujuan sekaligus. Pertama , politik bagi kaum SI adalah sarana untuk mengatur permasalahan pada tingkat bangsa. Praksisnya adalah upaya untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa (nationale vrijheid) dari kungkungan kolonialisme. Selain itu pada tingkat bangsa, pada jalur politik ini jualah diharapkan perluasan pemahaman rakyat untuk mau diatur dengan hukum-hukum Islam. Kedua, perjuangan politik adalah juga sebagai usaha mempersatukan umat Islam dalam satu persaudaraan besar. Bagi tiap-tiap umat di seluruh dunia haruslah memiliki koneksi pada tingkat internasional, sebagai salah satu kekuatan Islam dalam melawan kapitalisme dan Imprelialisme dunia.
Mengenai Pan Islamisme, ia memaknainya secara praksis sebagai suatu interkoneksi antar umat Islam di seluruh dunia dengan tanpa melihat perbedaan-perbedaan pada tingkat
furu’ (cabang).
Persatuan umat Islam sedunia itulah yang menjadi tujuan yang hendak dicapai Sarekat Islam menurut Tjokroaminoto. SI memiliki pandangan untuk terciptanya persatuan tersebut diperlukan suatu organisasi pemersatu yang tidak tercerai berai dan terpecah belah. Namun perlu dipahami, bahwa Tjokroaminoto tidak serta merta melupakan nilai-nilai kebangsaan terkait dengan kekhasan masing-masing bangsa. Oleh karenannya Tjokroaminoto juga menghendaki adanya suatu negara independen di setiap negeri muslim, yang juga merupakan bagian tak terpisahkan dari kesatuan umat Islam se-dunia.
Hal ini dibuktikannya dengan keterlibatan langsung PSII dalam menaggapi berbagai isu krusial umat muslim di seluruh dunia. Masalah internasional dibahas sebagai wujud kepedulian terhadap sesama muslim. Tercatat PSII pernah membahas masalah muslim di Tripoli, Palestina, dan juga Maroko lewat perantara para pelajar muslim nusantara yang bersekolah di Mesir. Bahkan bukan hanya terlibat dalam diskusi saja, lewat rapat-rapat ini juga diutus perwakilan untuk hadir dalam kongres internasional seperti Muktamar Alam Islami di Palestina pada tahun 1932.
Menurut Horgonje Mekah adalah jantung dari Islam di Nusantara, yang mengalirkan darah segar untuk pergerakan Islam lewat para haji yang kembali ke tanah air. Karena di sana begitu banyak mukimin asal Indonesia yang belajar tentang keislaman. Mukimin asal kepulauan nusantara terkenal sebagai mukimin yang paling aktif dalam keilmuan dan juga pergerakan di Hejaz.
(tulisan ini diambil dari berbagai refrensi)