![]() |
Gambar: dari Google |
Pada karangannya yang pertama Emil Salim membahas empat model sistem ekonomi, yaitu Ekonomi Swasta, Ekonomi Kontrol, Ekonomi Kolektif, dan Ekonomi Perencanaan Sentral. Pembahasan mengenai model-model sistem dan teori-teori mengenai sistem ekonomi yang dilakukannya adalah dalam rangka mencari dan merumuskan sistem ekonomi yang sesuai dengan Indonesia. Pada laporannya itu, Emil Salim masih menggunakan istilah “Sistem-Ekonomi Sosialisme Pantjasila”. Baru pada kertas kerja yang ditulisnya kemudian, yang sangat menekankan pentingnya pemerintah memikirkan masalah pembangunan ekonomi untuk mengimbangi keberhasilan Indonesia dalam pembangunan politik, istilah yang digunakan Emil Salim berubah menjadi “Ekonomi Pancasila”. Meski telah digunakan pada dua tulisan tadi, istilah Ekonomi Pancasila baru benar-benar “bergaung” setelah Emil Salim menulis sebuah makalah bagi Seminar KAMI, Januari 1966, [6] dan sebuah artikel di Harian Kompas pada Juni 1966. Artikel pendek itu kemudian disambung lagi pada 1979 oleh sebuah artikel panjang Emil Salim di Majalah Prisma.
Beberapa tulisan yang pernah membahas gagasan Ekonomi Pancasila, seperti tulisan Mudrajad Kuncoro sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, biasanya paling akhir hanya merujuk pada tulisan Emil Salim yang dimuat di Kompas atau dalam Seminar KAMI ketika menyebut kapan pertama kali istilah itu muncul, dan tidak memperhatikan kalau istilah telah diperkenalkan sejak setahun sebelumnya.
Menarik untuk memperhatikan, ada jeda yang sangat panjang dari sejak pertama kali istilah Ekonomi Pancasila diperkenalkan hingga istilah itu kembali dibicarakan. Setelah tulisan-tulisannya pada tahun 1966, Emil Salim baru menggunakan lagi istilah itu pada 1979, melalui tulisan panjangnya di Majalah
Prisma . Artinya, ada jeda selama 13 tahun. Tulisan Emil itupun bukan merupakan tulisan pertama mengenai Ekonomi Pancasila pada dekade 1970-an. Sebelumnya, pada 1978, Christianto Wibisono juga menulis sebuah artikel panjang di Majalah Analisa CSIS, berjudul “Menuju Sistem Ekonomi Pancasila”. Pada awal 1979, tepatnya pada 16 Februari 1979, di Jakarta juga telah berdiri Lembaga Pengkajian Ekonomi Pancasila (LPEP). Lembaga ini dipimpin oleh Drs. Soerowo Abdulmanap, dan sebagai penasihatnya adalah Mohammad Hatta, Proklamator kita. Pada tahun 1979 itu, selain tulisan Emil Salim, sebelumnya Mubyarto juga telah mulai menggunakan istilah Ekonomi Pancasila. Di Harian Kompas , 3 Mei 1979, Mubyarto menulis artikel berjudul “Koperasi dan Ekonomi Pancasila”. Dan setelahnya, pada 6 Juli 1979, juga di Harian Kompas, Sunario Waluyo menulis artikel “Pemikiran tentang Ekonomi Pancasila”.
Kenapa pada tahun 1979 itu perbincangan mengenai Ekonomi Pancasila kembali marak dan melibatkan orang banyak?! Mengingat jawaban atas pertanyaan itu melibatkan banyak sekali fakta dan perspektif, penulis sedang mencoba menjawab pertanyaan itu dalam sebuah buku yang kini sedang disusunnya. Jadi, pertanyaan ini tidak akan dijawab oleh tulisan ini.
Polemik Ekonomi Pancasila 1981
Barangkali, dalam sejarah ilmu sosial di Indonesia, tak ada polemik yang lebih besar daripada “Polemik Ekonomi Pancasila” yang terjadi pada awal 1980-an. Pada 1957 memang sempat terjadi perdebatan penting dalam “Seminar Sedjarah” yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dengan Universitas Gadjah Mada. Namun, perdebatan dalam seminar itu tidak banyak merembes keluar forum, sehingga tak sampai menjadi polemik.
Adapun “Polemik Ekonomi Pancasila”, yang terjadi sejak akhir tahun 1980 dan berlangsung hampir sepanjang tahun 1981, melibatkan tulisan dan pendapat dari puluhan sarjana, bukan hanya dari lingkungan ilmu ekonomi, melainkan juga dari ilmu-ilmu lainnya, seperti filsafat, hukum, politik, dan lain-lain. Bahkan, polemik tersebut juga telah memancing perhatian sejumlah Indonesianis untuk mengutarakan pendapatnya di jurnal internasional. Sejak 1980 hingga 1981, tak kurang digelar 4 seminar penting yang membicarakan topik itu, yang digelar baik di Yogyakarta maupun di Jakarta.
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, meski sebagai sebuah istilah Ekonomi Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Emil Salim, dalam perjalanannya istilah tersebut kemudian lebih lekat dengan nama Mubyarto. Memang, Mubyarto-lah yang kemudian serius mengembangkan gagasan tersebut, baik dalam wilayah keilmuan maupun sebagai identitas bagi praksis kebijakan. Pada 19 September 1980, atas inisiatif Mubyarto pula, gagasan Ekonomi Pancasila untuk pertama kalinya diseminarkan, bertepatan dengan Dies Natalis Fakultas Ekonomi UGM ke-25. Ada 18 orang sarjana yang memberikan sumbangan pemikiran kala itu, dari sudut makro ekonomi, mikro ekonomi, teori pembangunan, etika ekonomi dan gagasan mengenai konsep manusia Indonesia untuk menyempurnakan konsep homo oeconomicus . Kumpulan makalah dalam seminar itu dibukukan dan diterbitkan oleh BPFE (Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada).
Seminar di Yogya tadi ternyata mampu menarik perhatian. Wacana Ekonomi Pancasila kemudian direspon oleh pemerintah dalam bentuk seminar pula yang diselenggarakan oleh Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Wanhankamnas) dan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada 23 hingga 26 Juni 1981, yang prosidingnya kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Wawasan Ekonomi Pancasila (1981). Jika seminar di Yogya lebih banyak menekankan aspek teoritis keilmuan, maka seminar di Jakarta ini terutama mengelaborasi Ekonomi Pancasila sebagai gagasan mengenai sistem ekonomi, dan bukan sebagai teori ekonomi (baru).
Meski sama-sama menggunakan istilah Ekonomi Pancasila, terdapat perbedaan mendasar antara apa yang dimaksud dengan Ekonomi Pancasila oleh Emil Salim dengan menurut Mubyarto dan “versi Yogya”. Jika Emil Salim menerjemahkan istilah tadi sebagai gagasan mengenai sistem perekonomian, atau politik perekonomian, maka Mubyarto menggunakannya sebagai sebentuk teori kritis untuk mengkritik teori ekonomi Neoklasik (mainstream economics ). Atau, jika diperinci lebih jelas lagi, perbedaan pokok antara gagasan Emil Salim dengan Mubyarto itu terletak pada aspek konseptual dan historis yang melatari kelahiran istilah tadi. Secara historis, gagasan Ekonomi Pancasila Emil Salim adalah mencoba memberi pendasaran terhadap jalan ekonomi yang akan diambil oleh Orde Baru; sementara Ekonomi Pancasila versi Yogya dan Mubyarto adalah justru hendak memberikan kritik terhadap jalan ekonomi Orde Baru.
Sedangkan jika dilihat secara konseptual, ketika memperkenalkan istilah itu, Emil Salim tidak sedang bertendensi hendak menyusun teori ekonomi baru, atau sistem ekonomi baru, sebagaimana yang terasa kental dalam Seminar Ekonomi Pancasila di Yogya pada 1980. Emil, sebagaimana bisa diikuti dalam pemikiran-pemikirannya kemudian, tidak pernah mengemukakan pandangan bahwa ada yang keliru dari ilmu ekonomi mainstream (neoklasik). Ia selalu berpandangan bahwa ilmu ekonomi itu universal. Jika terdapat ketidaksesuaian antara teori ekonomi dengan praktik, maka kekeliruan itu terletak di praktik. Jadi, menurut Emil, tidak ada gunanya menyusun teori baru karena memang ilmu ekonomi tidak ada yang keliru, hanya penerapannya saja yang mungkin keliru.
Pandangan itu tentu saja jauh berseberangan dengan pendapat Mubyarto dan pendapat para pembicara yang mengemuka dalam Seminar 1980. Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ekonomi pada 1979, Mubyarto, dengan tegas mengemukakan bahwa ilmu ekonomi mainstream tidak bisa sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Dalam pandangan Mubyarto, teori ekonomi neoklasik (mainstream economics ) bukan hanya tidak mampu mendistribusikan kue ekonomi secara merata, sebuah masalah yang dihadapi perekonomian Indonesia pada 1970-an (dan tetap permanen hingga hari ini), melainkan teori tersebut secara konseptual memang tidak bersifat mendukung terhadap gagasan keadilan sosial. Dengan demikian, dalam pandangan Mubyarto, diperlukan bukan hanya perubahan kebijakan untuk mendistribusikan kue ekonomi nasional, melainkan diperlukan juga sebuah teori ekonomi baru untuk melakukannya.
Jadi, nampak benar bahwa perbedaan antara maksud Ekonomi Pancasila sebagaimana diuar Emil Salim berlainan secara fundamental dengan yang dibentuk oleh Mubyarto dan kawan-kawannya.
Adalah menarik juga untuk memperhatikan kenapa Seminar Ekonomi Pancasila di Yogya tahun 1980 sampai bisa “mencuri perhatian” pemerintah. Perspektif mengenai pertarungan medan kuasa di ruang publik barangkali penting untuk menjelaskan hal ini. Secara ringkas bisa disampaikan bahwa salah satu sebab kenapa seminar tersebut “menarik perhatian pemerintah” adalah karena pada saat itu pemerintah sedang berusaha untuk memonopoli tafsir atas Pancasila, sehingga ketika sekelompok sarjana berbicara mengenai Pancasila dalam framing berupa kritik terhadap pemerintah, tentu saja itu dianggap sebagai “ancaman” yang serius. Karena sebelumnya Orde Baru telah menjadikan Pancasila sebagai ujung tombak untuk melakukan de-Soekarno-isasi, delegitimasi terhadap anasir-anasir ideologis lama (seperti “sosialisme Indonesia” ataupun “sosialisme” secara umum), maka rezim neo-fasis tersebut tak ingin tombak yang sama kini menikam mereka.
Pada kenyataannya, tak kurang dari Soeharto sendiri ikut bicara mengenai Polemik Ekonomi Pancasila, dan komentarnya membuat orang tak lagi berani mengatakan selainnya. Dalam sebuah wawancara, Mubyarto mengatakan bahwa sejak Soeharto ikut berkomentar mengenai Ekonomi Pancasila, dan itu dengan sejumlah tuduhan negatif, maka banyak di antara kawan-kawannya yang kemudian tiarap, tak lagi berani ngomong mengenai gagasan itu. Apa yang dilakukan oleh para pelopor Seminar Ekonomi Pancasila 1980, dari sudut pandang pemerintah, adalah mereka sedang merongrong otoritas tunggal yang bisa menafsir Pancasila, yaitu pemerintah sendiri. Tak heran, meski sempat ramai diperbincangkan sepanjang tahun 1981, gagasan Ekonomi Pancasila kemudian seperti balon kempes. Itulah yang kemudian membuat kenapa gagasan hanya identik dengan nama Mubyarto.
Menggugat Universalitas Teori Ekonomi
Tendensi untuk menolak keberlakuan teori ekonomi Barat di Indonesia sejatinya bukanlah merupakan fenomena baru tahun 1980-an. Sejak masa kolonial, beberapa sarjana Belanda yang mengkaji perekonomian Hindia, juga telah melemparkan sejumlah keraguan atas kemampuan teori ekonomi konvensional dalam menjelaskan dinamika perekonomian di tanah jajahan. Tesis mengenai “Ekonomi Dualistis” (Dual Economies) sebagaimana yang diajukan oleh Julius Herman Boeke (1884-1956) pada awal abad ke-20, bisa jadi merupakan pintu awal bagi munculnya gagasan mengenai teori baru bagi ilmu ekonomi di Indonesia, yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda. Dalam disertasinya yang ditulis pada 1910, Tropisch-Koloniale
Staathuishoudkunde: Het Probleem (Masalah Perekonomian Kolonial Tropik) , Boeke pertama kali mengintrodusir tesis mengenai ekonomi dualistis. Dari sudut ekonomi, menurut Boeke, sebuah masyarakat dapat ditandai oleh tiga unsur, yaitu semangat sosial (social spirit ), bentuk organisasi , dan teknik yang mendominasinya . Ketiga unsur ini saling berkaitan dan dalam kaitannya itu menentukan ciri khas dari masyarakat bersangkutan, yang disebut sebagai sistem sosial. Dalam sebuah masyarakat dimana pada waktu yang bersamaan memiliki dua atau lebih sistem sosial, dan tiap sistem itu berbeda satu sama lain, disebut masyarakat dualistis atau masyarakat plural (plural societies ). Ekonomi dualistis merupakan implikasi dari sistem sosial yang juga bersifat dualistis. Dalam perekonomian yang bersifat dualistis, sebagaimana yang ada di Hindia Belanda, maka diperlukan dua pendekatan ekonomi yang berbeda untuk memahami dua modus perekonomian tadi, dimana teori ekonomi umum (baca: Barat) tidak berlaku bagi sistem sosial yang bersifat khas.
Tesis Boeke tersebut kemudian memancing polemik yang melibatkan banyak ekonom. Inti polemik terutama berkisar pada persoalan benarkah sistem sosial yang berbeda dengan masyarakat Barat—tempat dimana ilmu ekonomi modern lahir dan dibesarkan—memerlukan teori ekonomi tersendiri yang berbeda dengan teori umum? Di antara yang terlibat dalam polemik itu adalah Jacob van Gelderen (1891-1940), Dionijs Huibert Burger, dan G.H. van der Kolff. Van Gelderen, dalam tulisannya mengenai perekonomian tropis, berpandangan bahwa teori ekonomi umum bukannya tidak berlaku sama sekali di Hindia Belanda. Ada keadaan-keadaan yang membuat kenapa sebuah teori kadang berlaku dan kadang tidak, dan itu tidak berarti membatalkan keabsahan sebuah teori. Sebagai jalan tengah dari pandangan Boeke, van Gelderen mengemukakan bahwa di samping teori ekonomi murni, memang perlu pula dikembangkan teori ekonomi praktis atau aplikatif dalam bentuk kebijaksanaan ekonomi atau ekonomi-politik. Lebih jauh, menurut van Gelderen, untuk memahami perekonomian Hindia, teori ekonomi umum memang tidak bisa langsung diterapkan begitu saja, karena ada beberapa faktor yang membuatnya berbeda dari kondisi yang diandaikan oleh teori ekonomi umum. Paling tidak ada tiga faktor yang disebut Boeke dan Gelderen dalam kaitannya dengan kondisi spesifik Hindia Belanda waktu itu, yaitu pertama , faktor sosial-historis Hindia Belanda itu sendiri; kedua adalah faktor geografi ekonomi; dan ketiga adalah faktor etnologi.
Keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada ilmu ekonomi konvensional semakin hari semakin bersifat terbuka. Tak heran jika kemudian pada bagian awal pidato pengukuhannya, yang dibacakan pada 19 September 1978, Roekmono Markam menyebut bahwa tak ada persoalan yang paling menyulitkan para guru besar ekonomi waktu itu selain persoalan “relevansi”. Persoalan yang sama pula yang telah mendorong Mubyarto untuk terus berburu “kijang ilmiah” Ekonomi Pancasila. Baginya, keterbatasan yang melekat pada teori ekonomi konvensional tak bisa hanya disiasati di level kebijakan, melainkan juga harus dicarikan kerangka teoritis baru penggantinya, sebuah posisi yang jelas jauh berseberangan dengan pandangan yang dipegang oleh Emil Salim.
Jika menyimak riwayatnya yang cukup panjang, ditambah dengan sejumlah polemik yang pernah menyertainya, gagasan Ekonomi Pancasila sebenarnya bisa dikatakan telah “memiliki sejarah sendiri” dan merupakan salah satu milestone dari pemikiran kaum intelektual Indonesia. Meskipun demikian, Ekonomi Pancasila hingga kini masih merupakan gagasan fragmentaris yang belum tersimpul menjadi sebuah gagasan utuh. Secara teoritis, gagasan keilmuan ekonomi dibangun dari beberapa komponen teori, seperti teori tentang konsep manusia, teori sistem ekonomi, teori ekonomi (murni) dan teori ilmu pengetahuan. Pada Ekonomi Pancasila, komponen-komponen itu belum terlihat padu.
Meski beberapa sarjana terkemuka telah mencoba mengambil tempat untuk merumuskan lebih jelas gagasan Ekonomi Pancasila, hasilnya masih jauh dari bisa dikatakan selesai. Pada 1985, misalnya, kumpulan ceramah Sumitro Djojohadukusumo yang disampaikan melalui TVRI antara bulan September hingga November 1984, dibukukan dan diberi tajuk “Ekonomi Pancasila”. Pada dasarnya Sumitro berusaha mengembangkan gagasan Ekonomi Pancasila dari pendekatan normatif dengan menjabarkan sila-sila dalam Pancasila. Namun, karena berupa kumpulan naskah ceramah, elaborasi yang bisa dilakukan tidak bersifat mendalam.
Kemudian pada tahun 2004 terbit buku karangan M. Dawam Rahardjo yang diterbitkan oleh Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM. Buku ini mencoba mengkonseptualisasikan Ekonomi Pancasila sebagai ilmu tersendiri dengan membahas aspek-aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ide dasar buku ini lebih maju daripada buku-buku mengenai Ekonomi Pancasila yang ditulis pada masa-masa sebelumnya. Tanpa sebuah elaborasi dari sudut filsafat ilmu, gagasan Ekonomi Pancasila memang sukar untuk bisa disebut sebagai “ilmu”. Hanya saja, sayangnya buku ini melewatkan pembahasan mengenai elaborasi filosofis yang pernah dilakukan di masa lalu berkaitan dengan gagasan Ekonomi Pancasila. Sebab, elaborasi semacam itu bukanlah sebuah usaha baru, karena pada dekade 1980-an salah seorang pemikir Ekonomi Pancasila juga telah memulainya, yaitu Hidayat Nataatmadja. Buku Dawam ini, sejauh ini, merupakan buku terakhir yang pernah terbit yang membahas gagasan Ekonomi Pancasila.
Agenda Ekonomi Pancasila
Meski bisa dikatakan gagasan Ekonomi Pancasila bukanlah gagasan Mubyarto seorang, tapi dalam kenyataannya Ekonomi Pancasila telah menjadi nama kedua bagi Mubyarto, dan kiranya demikian pula sebaliknya. Merujuk kepada penjelasan Mubyarto, Ekonomi Pancasila memiliki lima ciri, yaitu (1) roda perekonomian digerakan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral; (2) kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah kemerataan sosial (egalitarianisme), sesuai asas-asas kemanusiaan; (3) prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh yang berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi; (4) koperasi merupakan saka guru perekonomian dan merupakan bentuk paling konkret dari usaha bersama; dan (5) adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan sosial.
Secara umum, Ekonomi Pancasila, sebagaimana bisa terbaca dari tulisan para penggagasnya, dimaksudkan sebagai teori ekonomi dengan perspektif Indonesia. Secara konseptual gagasan Ekonomi Pancasila diproyeksikan mencakup dua aspek, yaitu (1) teori ekonomi murni ; dan (2) teori ekonomi aplikatif untuk Indonesia .
Satu catatan yang juga penting untuk diperhatikan ketika membicarakan Ekonomi Pancasila adalah mengenai pertanyaan “siapa saja yang bisa dianggap sebagai penggagas Ekonomi Pancasila?”. Mengenai pertanyaan ini, rasanya kita perlu kembali kepada pepatah, “tak semua orang yang bisa menggambar bisa disebut sebagai pelukis”. Dari empat seminar Ekonomi Pancasila yang berlangsung pada 1980-an, ada puluhan sarjana yang terlibat di dalamnya, terutama sebagai pembicara. Tentu naif mengandaikan bahwa semua pembicara yang terlibat dalam semua seminar tadi bisa dianggap sebagai penggagas Ekonomi Pancasila. Sebabnya sederhana, meski seluruh pembicara menyebut nama Ekonomi Pancasila, dalam kenyataannya mereka tak semuanya berada satu garis dengan school of thought (mazhab, aliran) yang dengan teguh diimani Mubyarto hingga akhir hayatnya.