Dalam Era Revormasi yang ditandai dengan keterbukaan dan
demokratisasi, telah terbentuk sistem politik yang baru yang secara struktural
berbeda dengan sistem politik otoriter orde baru
Pertama, pembatasan kekuasaan dan masa jabatan presiden
selama maksimal dua periode masa jabatan atau dua kali lima tahun. Kedua,
adanya jaminan konsitusi dan perundangan-undangan bagi hak-hak politik,
kebebasan sipil, hak-hak asasi manusia yang melekat pada setiap warga negara.
Ketiga, jaminan bagi kemerdekaan dan kebebasan pers. Keempat, kelangsungan
pemilu yang bebas, fair dan demokratis yang diselenggarakan oleh komisi pemilu
yang independen. Kelima, semua anggota perlemen, baik nasional (DPR dan DPD)
maupun daerah (DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, dipilih melalui pemilihan
umum. Keenam, adanya jaminan kebebasan berserikat kemungkinan setiap warga
negara membentuk partai politik untuk ikut serta dalam pemilu, sehingga
terbentuk lebih dari 100 parpol menjelang pemilu 1999. Ketujuh, militer mundur
dari politik, sehingga semua jabatan politik formal dilegislatif dan eksekutif
kini hanya bisa diisi oleh politikus sipil.
Skema penyelenggaraan pemilihan yang dimulai dengan pemilu
legislatif baru kemudian diikuti oleh pemilu presiden berimplikasi pada
terbentuknya pormat pemilu presiden yang ‘’didekte’’ oleh hasil pemilu
legislatif. Betapa tidak, hasil pemilu legislatif menjadi bagi parpol-parpol
untuk bergabung atau berkoalisasi, baik dalam pengusungan pasangan calon
presiden maupun dalam membentuk pemerintahan hasil pemilu jika kelak pasangan
calon tersebut menang. Dampak dari skema penyelenggaraan pemilu seperti ini
adalah kelangsungan praktik presidensial dengan cita rasa sistem parlementer.
Konteks rekayasa intitusional
Promlematik institusional melekat pada sistem demokrasi
presidensial berbasis multipartai seperti dianut bangsa indonesia. Pembentukan
koalisi yang dimaksud untuk memaksimalkan efektivitas kerja pemerintahan hasil
pemilu. Melalui membentuk koalisi parpol pendukung pemerintah, diharapkan
berbagai rencana kebijakan pemerintahn tidak diganggu atau dihambat oleh parpol
diparlemen.
Mekanisme PT dimaksudkan agar jumlah parpol yang dapat
duduk di DPR sesedikit mungkin sehingga
terbentuk sistem multipartai sederhana di satu pihak dan kinerja Dewan bisa
efektif di pihak lain.
Perubahan stuktur
Kehadiran sistem multi partai pasca rezim otoriter Orde Baru
di Indonesia telah memberikan kontribusi bagi perkembangan demokrasi, meskipun
masih bersifat terbatas. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu secara bebas,
demokratis dan hampir tidak gejolak komunal pada 1999 dan juga tiga
rangkaian pemilu pada 2004 membukti
bahwa partai-partai adalah salah satu faktor integratif terpinting bagi
pelembagaan demokrasi di Indonesia.
Selain menjadi faktor integrasi, kehadiran partai-partai
baru makin memperluas basis sosial elite baru, baik di lembaga legislatif
maupun di dalam pemerintahan. Jika elite politik pada Era Orde Baru berpusat
pada militer, birokrasi dan pengusaha kroni, Era Reformasi menandai munculnya
elite politik dengan basis sosial yang sangat beragam , mulai dari tokoh agama, aktivis NGO, mahasiswa dan intektual,
artis, dan bahkan para wakil kaum perempuan.
Peran dan posisi partai-partai dalam proses politik di Era Reformasi jelas sangat segnifikan
dibandingkan peran terbatas partai pada era Soeharta. Dinamika parlemen, baik
di tingkat nasional maupun daerah (provensi, kabupaten, dan kota) juga jauh
lebig tinggi dibandingkan perannya yang hanya melegitimasikan sistem otoriter
pada masa Orde Baru.
Demokrasi substansial memang belum dicapai indonesia
pascarezim otoriter Orde Baru. Tetapi, segenap prosedur demokrasi seperti
kebebasan pers, kebebasan berserikat, pemilu yang demokratis dan pembentukan
lembaga-lembaga demokrasi telah mengantarkan bangsa ini belajar banyak tentang
kesalahan masa lalu.
Analisis dan Penataan Ke Depan
Sudah cukup sering dikemukakan institusi partai politik
(parpol) adalah salah satu pilar terpenting bangunan sistem demokrasi selain
institusi pemilihan umum, eksekutif, legislatif, yudikatif dan lembaga pers
yang bebas. Begitu pentingnya kedudukan parpol, sering dikata pula, tidak ada
demokrasi tanpa kehadiran parpol didalamnya. Walaupun demikian perlu segera
digarisbawahi. Pertama, sistem demokrasi hanya bisa bekerja apabila parpol juga
bekerja dalam kerangka suatu sistem kepartaian yang mendukung dan memungkinkan
demokrasi bekerja. Kedua, tidak semua partai politik memberikan kontribusi
positif bagi perkembangan demokrasi. Samuel P. Hungtington, misalnya,
menggarisbawahi bahwa hanya partai-partai yang kuat dan terinstitusionalkan
yang menjanjikan terbangunnya demokrasi tidak semata-mata identik dengan jumlah
parpol, seolah-olah semakin banyak jumlah parpol maka suatu negara semangkin
demokrasi. Sebenarnya sejak awal telah mewarisi berbagai kelemahan struktural,
mulai dari tradisi konflik, tidak adanya displin organisasi, elitis,
kepemimpinan yang cendrung personal, kecendrungan pemimpin besar antara
elite partai dan massa pendukungnya
ditingkat bawah. Dalam kaitan ini dapat diidentifikasikan empat kelompok
kegagalan kepemimpinan, kegagalan ideologi , serta kegagalan taktik dan
strategi. Kegagalan organisasi dan institusionalisasi tampaknya dialami oleh hampir semua partai politik. Konflik internal
yang dialami oleh partai-partai besar dan kecil pada umumnya bersumber
pada pelanggaran aturan main’’ yang ironinya sebagian besar dilakukan
pemimpin atau ketua umum partainya masing-masing. Hampir tidak ada tradisi
berorganisasi secara rasional, kolegial, demokratis, dan bertanggung jawab
idalam partai-partai karena tidak jarang keputusan dari pilihan politik ditentukan
secara sepihak dan oligarkis oleh segelintir
atau bahkan seorang pemimpin partai.
Dalam konteks ideologi, para politikus partai cendrung
bersifat mendua dan tidak konsisten. Di satu pihak secara formal dan verbal
mereka mendukung ideologi, baik ideologi negara maupun ideologi partai, tetapi
dalam perilaku sering menggunakan dukungan itu untuk kepentingan kelangsungan
kekuasaan pribadi dan vested interest kelompok akhirnya mengalahkan komitmen
mereka terhadap ideologi. Pada akhirnya, kepentingan pribadi dan kelompok
itulah yang menjadi ‘’ideologi’’ para politikus partai dewasa ini. Sementara
itu, dalam konteks taktik dan strategi, pada umumnya partai-partai terperangkap upaya memperjuangkan
jabatan-jabatan publik ketimbang perjuangan memenangkan kebijakan publik.
Fungsi pendidikan politik bagi masyarakat hampir tidak
pernah disentuh dan menjadi agenda partai-partai politik. Sebaliknya,
partai-partai politik kita cendrung bersembunyi dibalik baju yang bersifat ideologi , dibelakang karisma pribadi para
elitenya, serta dibalik isu-isu besar yang tak pernah diterjemahkan secara kontekstual-operasional.
Sebagai akibatnya kompetisi partai-partai cendrung lebih bersifat fisik
(melalui kemampuan pengarahan massa mobilisasi simbol-simboldan sejenisnya)
ketimbang kompetisi atas dasar keunggulan visi, platform dan proram politik.
Oleh karena itu, selain pemberlakuan ambang batas parlemen
secara konsisten, skema sistem multipartai sederhana dapat diwujudkan melalui,
pertama, perubahan besaran Dapil, dari 3-10 kursi anggota DPR dan 3-12 kursi
anggota DPRD, menjadi masing-masing 3-5 dan 3-6 kursi anggota parlemen per satu
Dapil. Kedua, melembagakan pembentukan koalisi secara permanen dalam arti suatu
koalisi yang diikat secara publoik dan bersifat notariat . ketiga,
penyederhanaan pengelompokan fraksi diparlemen atas fraksi pendukung pemerintah
di satu pihak, dan fraksi oposisi dan atau fraksi independen dipihak lain.
Kempat, pemberlakuan ambang batas parlemen bagi parpol yang lain.
Editor: AF (Berbagai Sumber)