Di setiap zaman, selalu dilahirkan pribadi yang melawan ketidak adilan, dengan cara yang kadang di luar perkiraan. Di Australia tahun 1931, di kalangan suku Aborigin, yang melawan itu tiga bocah berusia 14 tahun, 10 tahun dan 8 tahun. Mereka berjalan kaki 9 minggu, menempuh 2400 KM, yang kira kira jarak tempuhnya sama dengan tiga kali jarak Jakarta-Surabaya.
Saya terpana dan terpaku di sepanjang film 93 menit itu. Film ini dibuat berdasarkan buku yang ditulis oleh Doris Pikington Garimata. Doris ini anak dari Molly, bocah 14 tahun itu yang melawan itu.
Pemain utama film Evelyn Lee Marie Sampi memerankan Moly. Artis ini memang keturunan Aborigin. Dari wajahnya, publik segera mengenali ia bukan dari kulit putih murni, dan bukan pula suku aborigin asli.
Pernah ada masa bahkan di dunia Barat sana. Di Australia tahun 1931, dikenal apa yang disebut sebagai kumpulan manusia "Setengah Kasta." Mereka bukan kuli putih. Mereka bukan suku aborigin. Mereka etnis campuran.
Acapkali ayahnya kulit putih, ibunya suku aborigin. Bagi pemerintah Australia tahun 1931, manusia setengah kasta, yang blasteran ini, yang suku bercampur ini, sebuah ancaman.
Pemerintah membuat kebijakan khusus. Mereka menggunakan ilmu pengetahuan seadanya di era itu. Komunitas setengah kasta ini harus diselamatkan.
Seorang ahli berhasil meyakinkan pemerintah Australia. Jika manusia setengah kasta itu kembali kawin dengan kulit putih, pelan pelan keturunan mereka akan kembali menjadi kulit putih. Campuran suku aboriginnya akan hilang karena perkawinan itu. Aneka bukti yang menguatkan dipaparkan lengkap dengan foto.
Programpun dibuat dengan misi suci. Komunitas setengah kasta, campuran etnik itu harus diupayakan dijadikan kulit putih kembali. Pemerintah Australia kala ini mendukung program ini. Pemerintah menyediakan dana negara, juga para pegawai untuk memastikan etnik yang bercampur harus dibersihkan sedini mungkin.
Team kerja dan perangkatnya disiapkan. Mereka mendata, siapa saja dan tinggal dimana saja manusia setengah kasta itu. Langkah pertama, seawal mungkin, mereka harus dipisahkan dari ibu asal originnya, dan dididik di sebuah kamp.
Film memusatkan kisah pada perburuan tiga anak setengah kasta. Team riset berhasil mengidentifikasi tempat tinggalnya: Molly (14 tahun), adik kandungnya Daisy (8 tahun), dan ponakannya Grace (10 tahun).
Tiga anak ini tak lagi dijenguk oleh ayah mereka yang kulit putih. Mereka tinggal di wilayah unik, di sekitar pagar yang disebut Rabbit Proof Fence.
Itu jenis pagar yang juga mungkin hanya ada di Australia di era 1931. Saat itu tak diduga kelinci cepat sekali beranak pianak. Autralia mengembangkan sejenis "Great Wall Cina," mendirikan pagar yang sangat istimewa.
Pagar itu dibangun sepanjang 1500 mil setara dengan 2400 km. Ia dirakit dengan bahan sederhana sejenis kawat saja. Fungsinya, pagar itu memisahkan kelinci dan hewan lainnya untuk hidup di satu sisi saja, dan tidak masuk ke wilayah di sebrang pagar. Yang dilindungi dari kelinci itu pertanian penduduk.
Molly, Grace dan Daisy sering memandang kelinci dari pagar itu. Ia pernah bertanya pada ayah, ujung pagar panjang itu dimana. Ayahnya menjawab, ujung pagar itu jauh sekali, di tempat yang tak akan pernah bisa kau tempuh.
Ternyata pagar itu yang kemudian menjadi penyelamat Molly dan adiknya. Pagar itu menjadi penguat hatinya.
Dalam tempo yang cepat, Molly, Grace dan Daisy diburu pemerintah Australia. Mereka bertiga berlari sekuat tenaga. Ibu dan nenek melindungi mereka sekuat daya. Tapi pemerintah selalu lebih kuat.
Penduduk yang ingin menyelamatkan Molly dan adiknya tak berdaya. Para pemburu menunjukkan dokumen resmi pemerintah. Mereka aparat yang bergerak berdasarkan hukum. Jangan ada yang berani dan nekad melawan hukum.
Moly, Grace dan Daisy dibawa menempuh perjalanan yang jauh sekali dengan mobil. Tinggalah nenek dan ibu menangis meraung. Sang nenek tak henti berdoa dalam bahasa aborigin, meminta bantuan leluhur yang sudah tiada. Di langit burung Rajawali terbang seolah mendengar doa dua wanita yang sangat menderita.
Moly, Grace dan Daisy ternyata di bawa untuk hidup dalam sejenis perkampungan. Di sana sudah berkumpul puluhan para bocah setengah kasta lainnya. Di dalam komunitas itu, mereka "diselamatkan," dididik khusus agar menjadi bagian dari kulit putih kembali.
Mereka dilarang dan dihukum jika menggunakan bahasa aborigin. Bahasa mereka mulai hari pertama hidup di komunitas harus bahasa Inggris. Mereka juga dididik secara Kristen. Mereka diajarkan cara berdoa sesuai dengan aturan gereja.
Para guru, dan biarawati yang mendidik mereka banyak yang memiliki pribadi penuh kasih. Namun semua guru punya misi yang sama. Para manusia setengah kasta ini harus dibantu menjadi kulit putih kembali yang berbahasa Inggris dan beragama Kristen.
Yang istimewa dari komunitas itu hadirnya seorang pencari jejak asal suku aborigin asli. Untuk anak yang melarikan diri, pencari jejak mudah menemukannya dengan melihat tanah, pasir ataupun tumbuhan patah karena terinjak.
Moly menyaksikan sendiri seorang anak yang melarikan diri berhari hari berhasil ditemukan. Setelah ditemukan, anak itu dikurung terpisah sebagai hukuman dan contoh bagi anak lain.
Banyak anak setengah kasta yang betah dengan program pemerintah ini. Mereka punya tempat tidur lebih baik, makan lebih terjamin, bersekolah. Berkali kali guru dan biarawati meyakinkan mereka akan hidup terjamin. Banyak bocah yang senang hati menyambut program menjadi bagian kulit putih kembali.
Tapi Moly melawan. Ia rindu nenek dan ibunya. Ia merasa ini tak adil. Ia tak mau menjadi kulit putih. Ia merencanakan melarikan diri.
Seperti tiga durasi film ini adegan Moly dan dua adiknya melarikan diri berjalan selama sembilan minggu. Satu pasukan melacak mereka, termasuk ahli pelacak suku Aborigin.
Sejak awal dua adiknya ragu-ragu untuk melarikan diri. Ujar sang adik, Moodoo nama pencari jejak yang ahli akan mudah menemukan mereka. Moly meyakinkan mereka bisa menghilangkan jejak seperti yang diajarkan tetua suku aborigin.
Aneka drama terjadi selama 9 minggu itu. Mulai dari adu strategi menghilangkan jejak oleh Moly versus kemampuan pencari jejak membaca tipuan Moly. Mereka jumpa sesama suku aborigin yang mengesankan membantu namun justru menghianati.
Ada pula adegan Moly dan adiknya kelaparan dan mencuri. Seorang ibu kulit putih yang makanannya dicuri justru membantu. Konflik kakak beradik mengenai apa yang harus dilakukan selanjutnya. Acapkali pula mereka kelelahan dan hampir mati.
Satu patokan Moly melarikan diri menemukan pagar sepanjang 2400 KM itu. Ujar Moly, pagar itu yang akan mempertemukan mereka dengan ibu dan nenek yang sangat mereka cintai.
Anggaran khusus pemerintah untuk menemukan Moly sudah melampaui yang disiapkan. Pemerintah juga menunggu Moly di kediaman ibu dan nenek Moly. Namun ibu dan nenek segera berpindah lokasi agar tak ditemukan.
Dengan ikatan batin yang kuat, dan arah terbang Rajawali yang seolah digerakkan leluhur, Moly dan adiknya bertemu dengan ibu dan nenek di tempat khusus, yang tak diketahui para pemburu.
Di akhir film, kita melihat wajah asli Moly dan adiknya yang sudah sangat tua. Terasa guratan wajah seorang yang teguh melawan.
Di tahun 1943, kebijakan setengah kasta, yang ingin memurnikan kulit putih resmi dicabut. Namun kita tahu. Majunya peradaban masa kini tak datang begitu saja. Selalu hadiri di setiap zaman manusia yang melawan. Tak jarang mereka melawan dengan resiko hidupnya sendiri.
Kita berhutang budi kepada mereka yang melawan ketidak adilan di sepanjang zaman.***
(Reviewer: Denny J.A)