Membaca Sejarah Tanpa
Kepentingan
Orang dengan cerdas membaca
sejarah kehidupan manusia-termasuk dan khususnya yang baekaitan dengan
keimanan-akan menjumpai banyak kekacauan bahkan tragedi ketika nafsu dan urusan
kekuasaan (kekuasaan apa saja ) memimpin pihak-pihak berkepentingan,
demikianlah yang diucapkan tokoh NU sekaliber KH. Ahmad Mustofa Bisri dalam
sambutannya untuk buku ini.
Kekacauan itu tidak hanya
pada kehidupan lahir,tapi pada kehidupan pikir dan penalaran. Dalam sejarah
umat Islam sendiri kita dapat melihat banyak perilaku tak Islam pada
orang-orang Islam. Perilaku ini akibat kekacauan berpikir tercampur dengan
semangat keneragamaan yang tidak di tunjang oleh pendalaman pemahaman,plus
kebodohan menyadari garis batas yang memang tipis antara ghirah (semangat)
keagamaaan dan nafsu yang tersembunyi. Tengoklah kekacauan yang terjadi sejak
zaman sahabat Utsman bin Affan hingga sekarang, baik yang jelas asal usul
pesoalanya hingga yang samar.
Seandainya kekuasaan tidak ikut campur bahkan memimpin kehidupan sampai pada persoalan keimanan umat sedemikian rupa, saya rasa-secara lahiriah-wujud kehidupan kaum beragama tidak seperti sekarang ini. Tengoklah “sakti”-nya kekuasaan dalam menggiring kehidupan umat selama ini. Setiap penguasa selalu membawa dan mendakwah ” akidah” nya dengan pemaksaan yang memang di mungkinkan oleh kekuasaanya. Jangan coba-coba berbeda “akidah” dengan pihak yang berkuasa. Ingat,soal wacana qadim-qadits Alqur’an saja telah membawa korban, gara-gara kebenaran hanya milik penguasa. Sabda Pandita Ratu.
Kekacauan yang terjadi di tanah air pun banyak di opinikan sebagai berkaitan dengan soal agama,namun keyakinan saya bergeming: itu hanya buntut persoalan.Persoalan sejatinya adalah ulah pihak berkepentingan ( politik/kekuasaan) yang bisanya cuma mengajak Tuhan untuk mendukung kepentinganya, namun tidak di tunjang oleh kemampuan sendiri. Dikiranya Tuhan adalah pandai besi yang sewaktu-waktu bisa mereka minta buatkan pedang untuk melawan hamba-hamba-Nya sendiri. Masya Allah.
Demikian karena kekacauan itu, melihat manusia secara utuh sebagaimana adanya barang luks. Apalagi bila manusia itu merupakan pihak yang kalah oleh kekuasaan. Seberapa banayak orang yang mengetahui sirah, riwayat lengkap kehidupan al-Hallaj, misalnya? Bahkan kisah tokoh kita sendiri, Syaikh Siti Abdul Jalil atau Syaikh Siti Jenar, banyak di antara kita hanya tau bahwa Wali Songo tinari itu telah dihukum mati, sebagaimana al-Hallaj, karena ajaranya di anggap menyimpang. Bagaimana wajah sejarah seandainya yang dekat dengan kekuasaan saat itu justru Syaikh Siti Jenar?Apa yang bakal terjadi jika “akidah” penguasa dengan Syaikh Siti Jenar?
Buku-buku uang ditulis belakangan tentang “tokoh kontroversial” itu umumnya sekedar menjelaskan sebab musabab kenapa ia dihukum. Orang hampir tak pernah disuguhi riwayat pribadinya sebagai manusia beriman. Untunglah ada saudara Agus Suyanto yang menyusun buku tentang tokoh legendaris itu dengan maraji’ (referensi) yang lain sehingga kita bisa membaca riwayat hidupnya yang hanya kita kenal sebagai ” pesakitan” saja.
Sejarah Singkat Syeikh Siti Jenar.
Dalam buku ini asal usul dan masa kecil Abdul
Jalil, kisah perjalanan sejak dari Cirebon, Pakuan, Palembang, sampai Malaka.
Di sini jelas tergambar bahwa tokoh Syaikh Siti Jenar yang bernama asli Syaikh
Datuk Abdul Jalil itu bukanlah orang Jawa, apalagi seekor cacing. Ia adalah
seorang habaib clan berasal dari keluarga ulama di Malaka yang asal usul kakek
buyutnya dari Gujarat.
San Ali atau Datuk Abdul Jalil atau yang lebih
dikenal dengan nama Syekh Siti Jenar lahir dari Datuk Sholeh keturunan ulama
Malaka-Gujarat. Sejak umur 3 bulan, Syekh Siti Jenar sudah ditinggal
ayahnya dan di sejak itu dititipkan pada keluaraga Hindu, teman diskusi
ayahnya semasa hidup. Ki Danuseda.
Ki Danuseda adalah satu tokoh kerajaan di periode
kehancuran Majapahit. Namun beberPa lama kemudian Ki Danuseda meninggal
dan kemudian San Ali dititipkan di Asrama untuk belajar agama Islam. Tokoh
Asrama pondok tersbut nantinya adalah sepupunya dia, anak dadi saudara
ayahnya yang akan dibuktikan ketika melakukan pengembaraan ke Malaka,
kampung kelahiran Ayahnya.
Di Malaka, seluruh keluarganya dibenci oleh penguasa karna
penguasa sll khawatir jika keuarganya melakukan penggalangan massa untuk
melawan pemerintah. Dan itulah asal muasal seluruh keluarganya merantau dan
menjadi ulama di rantaaun seperti di daerah Samarkand, daerah Jawa Maulan
Malik Ibrahim, dan di Kedah (Pasai).
Cerita tentang pencarian jati diri San Ali ini sangat
menarik dan buku ini menjadi referensi wajib Anda mengetahui tentang siapa
Syekh Siti Jenar dan pemikirananya.
Hijab;
Jalan Berat Mencari Tuhan
Perjuangan mencari Allah adalah perjuangan maha dahsyat
yang hanya mungkin dilakukan oleh pejuang-pejuang tangguh yang tak kenal kata
menyerah. Allah bukanlah Tuhan statis yang membiarkan diri-Nya gampang
ditemukan. Allah senantiasa membentangkan hijab berlapis-lapis clan berbagai
halang rintang untuk menyelubungi keberadaan diri-Nya. Sekalipun para
pencari-Nya mengetahui bahwa Dia adalah Inti segala sesuatu dari ciptaan-Nya,
baik yang bisa ditangkap pancaindera maupun yang gaib, untuk menemukan-Nya
bukanlah persoalan sederhana.
Menurut Datuk Abdul Jalil alias Syekh Siti Jenar, ada 7
penghalang (hijab) yang akan dijumpai manusia saat dirinya mencari Tuhan. Ke
tujuh hijab tersebut antara lain;
Pertama, tantangan awal adalah melintasi Tujuh Lembah Kasal
yang berhawa sejuk, ditumbuhi rumput hijau, taman-taman bunga, pohon kemenyan,
dan gaharu yang menebar wangi, sungai, danau, dan burung aneka warna yang merdu
bemyanyi. Di lembah ini para pencari lebih suka menenggelamkan diri dalam
kemalasan naluri kemanusiaannya daripada bersusah-susah beribadah kepada-Nya.
Kedua, melintasi Tujuh Jurang Futur yang menganga yang siap menelan siapa saja yang jatuh ke
dalamnya. Siapa pun yang melihat ke dasar jurang yang seperti tan pa dasar itu
lazimnya akan menjadi lemah pendirian clan runtuh tekadnya untuk meneruskan
perjalanan. Bagi para pencari yang masih kuat terpengaruh kehidupan duniawi,
Tujuh Jurang Futur itu sangatlah menakutkan sehingga mereka lebih suka tidak
melanjutkan perjalanan daripada melintasinya dengan risiko tak pernah kembali.
Kebimbangraguan selalu mencekam siapa saja yang mencari-Nya ketika harus
melewati tujuh jurang ini.
Tantangan ketiga adalah melintasi Tujuh Gurun
Malal, tantangan ini sangat dahsyat dan butuh perjuangan khusus, yaitu berupa
hamparan pasir dan bebatuan yang membosankan. Di tengah perjalanan para pencari
sering dirayapi rasa bosan. Mereka enggan melanjutkan perjalanan, padahal
tujuan masih jauh. Tidak sedikit yang kemudian menggerutu, "Saya sudah
berjalan sangat jauh dan mengulang-ulang ibadah yang itu-itu juga, namun tujuan
saya tetap tak tercapai."
Keempat yaitu tantangan melewati Tujuh Gunung
Riya' yang sering menggelincirkan para pencari yang berusaha mendakinya. Para
pencari yang mendaki Gunung Riya' dengan puncaknya yang tinggi dan selalu
diselimuti awan itu cenderung memamerkan kemampuan mereka. Di atas puncak
Gunung Riya', para pencari biasanya lupa pada apa yang mereka cari. Mereka
terjebak pada kebanggaan dan memamerkan kemampuan, kehebatan, kegagahan, dan
keberanian diri sendiri. Bahkan, tak kurang banyak yang terperangkap pada
pamrih sehingga tujuan mereka tidak lagi menuju Allah, tetapi ke surga
"yang lain dari Allah".
Tantangan kelima yang sulit ditembus adalah
Tujuh Rimba Sum'ah yang berisi raungan serigala, auman harimau, kicau burung,
lenguh banteng, dan bunyi batang bambu yang berclerak ditiup angin. Di
rimba ini para pencari sering meniru perilaku hewan yang gemar memperclengarkan
suaranya. Para pencari suka menceritakan berbagai amaliah ibadah yang mereka
lakukan, dengan tujuan agar orang menyanjung dan memuji mereka. Bahkan, sering
terjadi para pencari benar-benar terperangkap pada suasana rimba raya sehingga
mereka menjelma sebagai hewan yang suka mengaum, melenguh, melolong, dan
berkicau untuk memamerkan kehebatan diri.
Tantangan keenam yang sulit diseberangi adalah
Tujuh Samudera 'Ujub yang bergelombang dahsyat dengan ombak menggemuruh menerpa
pantai dan batu karang. Di samudera ini para pencari gampang terpengaruh oleh
keberadaan samudera yang bangga dengan kedahsyatan ombaknya yang kuat dan
tinggi mencakar langit. Di dalam hati mereka muncul kebanggaan dan puja-puji
terhadap diri sendiri karena merasa amalnya telah banyak. Mereka tak pernah
menduga bahwa saat rasa bangga diri bagai samudera itu mencuat maka yang
terjadi adalah makna perjuangan ibadah mereka hilang, ibarat buih ombak di
hamparan pasir pantai.
Tantangan ketujuh yang sulit ditaklukkan adalah
Tujuh Benteng Hajbun yang berdinding tinggi dengan tembok kokoh berukir dan
berhiasan indah. Benteng-benteng itu dihuni oleh warga yang hidup.
Bagi Anda penggemar buku, rasanya buku ini
sangat wajib untuk dibaca. Dari awal hingga buku ketujuh tentang Syeikh Siti
Jenar ini sangat menarik. Nah, bagi Anda yang ingin membaca Ebooknya silahkan
download di link berikut:
Link 1
Link 2
Link 3
Link 4
Link 5
Link 6
Link 7