-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Dialog Makrifat Fatmawati dengan Soekarno sebagai Ide Gagasan Kelahiran Merah Putih



Pernikahan Fatmawati dengan Bung Karno sudah janji lauhul mahfudz dan skenario Allah. Bung Karno menorehkan sejarah panjang dalam upaya memerdekakan Indonesia, dari pembuangan hingga kudeta perang oleh agresi para penjajah. Pada tahun 1944, setahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan Soekarno-Hatta, Jepang telah menjanjikan kemerdekaan Indonesia.

Tahun 1944 musim semi, dalam keheningan malam, Bung Karno bangun dari lelap tidur istirahatnya, lalu mencicipi makanan diatas meja makan, dan menarik sebatang rokok cerutunya. Tiba-tiba Fatmawati muncul dari belakang dan keluar dari kamar menghampir sang suami. Fatmawati memulai pembicaraan “ayah... apa jang dirisaukan?’. Tanya Fatmawati sambil memeluk Bung Karno dari samping tempat duduknya.

Kemudian Bung Karno berkata “setelah akoe istirahat sejak poekoel 10.00 hingga bangoen dari lelapkoe poekoel 11.20 tadi, akoe melihat cahaya dalam mimpikoe dan gemoelai rakyat berbondong-bondong, membawa sepoecoek pesan soerat kepadakoe, laloe mereka berkata “Dokoeritsoe shimashita / merdeka”. Cerita Bung Karno kepada Fatimah.

Fatimah tidak mau panjang lebar menanyakan perihal tafsir mimpinya itu, dengan mengajak Bung Karno dan memberi semangat “ayah... besok pagi tahrim, ayah.. bertemoe banyak tamoe. Oentoek mengerti isi mimpi, kita haroes sholat istikharoh bersama, goesti Allah pasti memberi jawaban’. Usul Fatmawati kepada Bung Karno. Tak lama kemudian beranjak dari tempat duduk. Bung Karno dan Fatimah bersegera diri mengambil air wudhu. Mereka berdua melaksanakan sholat Istikharoh.

Menurut penuturan Fatmawati, saat itu Bung Karno mengadahkan tangganya ke atas langit dan berdoa seperti ini;

“Ya Allah, Toehan maha kasih, Engkaoe akan merahmati bangsa ini, bangsa yang akan berdiri diatas riboean sajak rakyat dan joetaan boedaya bernaoeng dibawahnya. Ya Allah,,,, restoeilah bangsa ini oentoek merdeka. Berilah kekoeatan padakoe, keluargakoe dan persatoekanlah rakjat dalam mengobarkan oesiran-oesiran pendjadjah”. Begitu doa Bung Karno yang diaminkan oleh Fatmawati.

Selesai berdoa, Bung Karno dan Fatmawati beranjak untuk istirahat. Sebelum mereka lelap, sempat pula terjadi dialog yang sangat romantis namun penuh harapan akan nasionalisme dan kemerdekaan. Mungkin dialog itu sebuah makrifat malam yang lahir dari gagasan ranjang dan warna kesukaan.

Betapa tidak, dialog makrifat malam itu mencerminkan bahwa Indonesia itu sebagai jawaban Allah atas istikharoh berjamaah Bung Karno bersama Fatmawati. Tentu membuat dunia semakin tau bahwa Indonesia lahir dari rahim Fatmawati. Dengan nada romantis, Bung Karno berkata “Fat sadjang, warna kesoekaan moe apa?”. Tanya Bung Karno sambil menatap mata Fatmawati yang sedang membaringkan kepalanya ke bantal tidur.

Lalu Fatmawati menjawab “akoe soeka warna merah, tetapi ayahkoe (Hasan Din) seorang Moehammadijah, sering bercerita kalaoe kesoekaanja doea warna hijaoe-merah”. Jawab Fatmawati. Kemudian, Bung Karno bertanya “apa arti djang dikandoeng dari warna kamoe soekai sadjang?”.

Fatmawati menjawab “warna merah miliki doeble arti, kesatoe; memboeat wanita cantik dan keindahan terpancar, kedoea; kecerdikan, berani, dan semangat. Kalaoe saja warna djang koe pakai hijaoe, maka miliki satoe arti kesedjoekan. Warna hidjaoe kata ajahkoe (Hasan Din) disoekai nabi”.

Lalu Fatmawati bertanya kembali kepada Bung karno “ayah soeka warna apa ?” Bung Karno menjawab singkat “warna poetih sajang?” jawabnya. Fatmawati bertanya lagi “apa arti dari warna djang ajah soekai itoe?”. Tak lama kemudian Bung Karno menjawab “warna poetih ciri-ciri bersih, soeci dan bekerja oentoek rakjat”. Jawab Bung Karno.

Tetapi tak kalah juga untuk menyingkap misteri warna yang disukai Bung karno itu. Lalu bertanya “apa rahasia, kenapa ajah semoea badjunja warna poetih, satoe hitam jas berkelblits, celana poetih?”. Tanya Fatmawati. Kemudian Bung Karno memberi jawaban yang sangat mesra dan penuh janji batin akan kemerdekaan Indonesia, bahwa Bung Karno yakin kalau Indonesia akan lahir dari seorang rahim ibu pertiwi yang ada di sampingku saat ini.

Bung Karno menjawab pertanyaan Fatmawati “sajang, akoe telah berjanji padamoe melaloei loekisan djang koe boeat sendiri, beraroma wangi haroem toedoeng merah berbaloet garis poetih, saat akoe jatoeh cinta padamoe sajang, aku katakan saat itu kepada moe, “wahai dikaoe Fat (Fatimah), engkaoe akan bersamakoe nanti dan mendatang, parasmoe memancarkan cahaya merdeka, menoentoen dirikoe bangkit gelora. Fat, akoe boeatkan loekisan ini oentoek moe, koe loekiskan parasmoe yang bercahaya kemilaoe itoe, akoe pasang toedoeng merah berbaloet garis poetih dalamnya, ini pertanda cintakoe putih bersih, vivere colomente”. Kata Bung Karno penuh mesra kepada Fatmawati.

Kemudian, Bung Karno mulai masuk diskusi pada bendera dan nama Indonesia. Namun, Fatmawati sudah tak kuat untuk melanjutkan diskusi. Akhirnya Bung karno memutuskan diskusi itu esok malamnya. Mereka berdua menikmati istirahat malam. Hingga pagi sekitar jam 10.30 Syahrir dan Moh. Hatta datang ke kediaman Bung Karno untuk melakukan perbincangan terkait situasi dan kondisi rakyat Indonesia saat itu, dimana di wilayah timur Indonesia bagian pulau Sumbawa dan Makassar terjadi perampokan rempah-rempah dan hasil panen para petani yang kemudian diangkut oleh Jepang dengan kapal menuju bagian Barat Indonesia.

Sehari bersama Sutan Syahrir dan Moh. Hatta melakukan pertemuan disemua tempat yang mereka rencanakan. Mengulik sejarah dalam bejana penjajah. Syahrir mendesak pemuda segera revolusi dan lakukan perlawanan. Kemudian, diwaktu malam tiba, Bung Karno kembali kerumahnya. Menjelang pukul 09.00 malam, Bung Karno segera beranjak untuk istirahat bersama Fatmawati.

Bung Karno kembali memulai cerita kepada Fatmawati tentang perkembangan situasi dan kondisi. Bung Karno berkata “Fat sajang,..... Jepang soedah bolehkan rakjat pakai simbol-simbol kemerdekaan, Fat.... sepertinja kita haroes boeat bendera dan ciptakan lagoe kebangsaan, soepaja kita poenya cirihas merdeka”. Cerita Bung Karno pada Fatmawati.

Lalu Fatmawati mencoba berdiskusi dengan Bung Karno, ia berkata “ayah,,,, warna apa jang akan mendjadi bendera kemerdekaan, soepaja akoe mendjahitnja lebih cepat”. Tanya fatmawati.

Kemudian, Bung Karno meyakinkan Fatmawati dengan berkata “Fat... sajang... boekankah kita berdoea soedah bercerita soal warna dan kemesraan maupun kesukaan, akoe oesoel agar warna bendera engkaoe jang pikirkan”. Usul Bung Karno membuat Fatmawati segera memutar otak untuk memberi jawaban kepada Bung Karno.

Dengan tegas dan tangkas, usul Fatmawati segera di diajukan ke Bung Karno “ayah....... bendera kemerdekaan sangat bagoes sekali kalaoe merah poetih”. Demikian jawaban Fatmawati. Sementara Bung Karno sendiri pertimbangkan usulan Fatmawati. Lalu, Bung Karno berkata “Fat... sajang.... akoe melihat moe soenggoeh dalam maknanja, batinkoe berkata kaoe mampoe memboeat koe terpana, soenggoeh racikan warna djang kaoe oesoelkan terkandoeng dalam badan seloeroeh djagat raja priboemi.. kamoe hebat sajang”. Begitu tanggapan Bung Karno terhadap jawaban Fatmawati.

Tanpa harus menunggu perintah Bung Karno, seorang Fatmawati langsung saja berfikir, pertimbangkan dan berbicara dalam batinnya. Warna merah harus diatas, warna putih dibawah. Jadi kalau disebut merah putih. tetapi, bagi Fatmawati tak mudah mendapatkan kain untuk bendera.

Malam itu juga, Fatmawati membuka lemari pakaiannya. Ia menemukan selembar kain merah yang merupakan tudung kesukaannya. Sementara kain warna putih diambil didalam lemarinya. Lalu malam itu juga di jahid apa adanya, bendera itu hanya sekitar 50 centimeter. Kemudian keesokan harinya diperlihatkan kepada Bung Karno, ia katakan “ayah.... ini hasil jahitan djang koe boeat, begini akoe menyoesoennja warna merah diatas dan warna poetih dibawah, jadi bendera merah poetih”.

Begitu bendera diperlihatkan. Lalu Bung Karno langsung komentar; “soenggoeh loear biasa engkaoe wahai istrikoe, bahwa engkaoelah jang menyoesoen dan melahirkan bangsa ini, dimana simbol bendera berasal dari rahim iboe pertiwi djang gagah berani dan oelet. Iboe pertiwi dikandoeng badan, itu kobaran semangat koe”.

Dari Rahim Fatimah, Indonesia Lahir Merdeka


Fatmawati tercatat dalam sejarah sebagai wanita penjahit bendera pusaka. Ia merupakan perempuan penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Fatmawati tidak membuat bendera merah putih sekali jadi. Sebelum 16 Agustus 1945, ia sudah menyelesaikan sebuah bendera merah putih.

Namun ketika diperlihatkan ke beberapa orang, bendera tersebut dinilai terlalu kecil.

Untuk persiapan kemerdekaan tahun 1945 sekitar bulan januari – februari, Fatmawati sudah mulai menjahit bendera merah putih yang baru dan lebih besar. Fatmawati memanggil seorang pemuda, Chaerul Basri, untuk menemui Shimizu, seorang pembesar Jepang. Shimizu adalah pimpinan barisan Propaganda Jepang, yaitu Gerakan 3A. Dia juga ditunjuk sebagai perantara dalam perundingan Indonesia-Jepang pada tahun 1943.

Karena Shimizu rajin mendengarkan uneg-uneg, pikiran, dan pendirian orang Indonesia saat itu, lebih bisa diterima bahkan dianggap ‘teman’. Apalagi, dia juga mampu berbahasa Indonesia, meski terpatah-patah. Shimizu lantas menghubungi seorang pembesar Jepang lainnya yang mengepalai gudang di bilangan Pintu Air, di depan eks Bioskop Capitol. Kain itu oleh Fatmawati dijahit menjadi sebuah bendera berukuran 2x3 meter.

Pada 1977, Shimizu ke Indonesia. Dia bertemu Presiden Soeharto dan sejumlah tokoh yang pernah dikenalnya. Dalam sebuah pertemuan, Fatmawati kemudian menceritakan kain bendera pusaka dari Shimizu. Pada 1946-1968, bendera tersebut hanya dikibarkan setiap hari ulang tahun kemer dekaan. Sejak 1969, bendera itu tak dikibarkan lagi dan disimpan di Istana Merdeka. Bendera itu sempat sobek pada kedua ujungnya. Ujung berwarna putih sobek 12X42 cm, sedangkan ujung berwarna merah sobek 15x47 cm. Ada pula bolong-bolong.

Tahun 1945 Perang Dunia sudah hampir mencapai akhirnya, kekalahan Jepang di berbagai medan pertempuran semakin mengobarkan semangat Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya. Pada tanggal 16 Agustus 1945 kegaduhan terjadi diluar rumah Bung Karno, para pemuda yang sudah “membawa” Moh. Hatta dan Soetan Sjahrir berteriak-teriak memanggil nama Bung Karno. Peristiwa ini dikemudian hari kita kenal dengan nama peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa ini adalah salah satu momentum kemerdekaan Indonesia.

Bendera yang sudah dijahit tangan oleh Fatmawati diserahkan untuk kemudian dikibarkan oleh para pemuda di Rengasdengklok sebagai persiapan proklamasi kemerdekaan Indonesia keesokan harinya 17 agustus 1945.

Setelah kemerdekaan Indonesia, ternyata kehidupan Fatmawati sebagai Ibu Negara masih jauh dari kata tenang. Agresi Militer Belanda datang lagi, Fatmawati yang di Yogyakarta harus berpisah dengan Bung Karno yang diasingkan di Pulau Bangka. Disaat itulah Fatmawati melahirkan putri pertamanya, Megawati Sukarno Putri yang di kemudian hari akan kita kenal sebagai Presiden Indonesia yang keempat. Setelah kelahiran Megawati, beliau dikarunia berturut-turut dua putri lagi yaitu, Rachmawati dan Sukmawati. Baru setelah itu pada tahun 1952, anak bungsu Sukarno dan Fatmawati lahir yang diberi nama Guruh Sukarno Putra.


Penyelamatan Sang Saka merah Putih 

Adalah tangan Fatmawati sendiri yang menjahit dua kain menjadi dwiwarna: Merah Putih. Subuh tanggal 17 Agustus 1945, dalam keletihan yang teramat sangat, Bung Karno pulang dalam keadaan menggigil. Malarianya kumat. Terlebih dua hari dua malam ia tidak tidur. Hanya air soda dan air soda yang diminum untuk menyegarkan mata. Fatmawati yang menyambutnya dengan cemas, melihat betapa Bung Karno teramat pucat.

Tanpa banyak kata, Bung Karno bukannya merebahkan badan, melainkan berjalan menuju meja tulis. Diambilnya kertas dan pena, lalu ia menulis berlusin-lusin surat. Seperti dituturkan kepada Cindy Adams, Sukarno mengisahkan bahwa Fatmawati cukup mengerti gejolak hati Sukarno, sehingga membiarkannya tetap bekerja. Tubuhnya menggigil diserang malaria, tetapi jiwanya jauh lebih bergejolak menyongsong Indonesia merdeka sebentar lagi. (Ibid roso daras, 2016)

Fatmawati sendiri bukannya bugar. Ia mengikuti benar hari-hari, jam-jam menjelang proklamasi. Dan itu sungguh melelahkan. Termasuk, ia harus menyiapkan bendera merah putih untuk keperluan upacara kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Bendera jahitan tangan Fatmawati itu pulalah yang dikibarkan pada momentum proklamasi. Bendera itu pula yang kemudian menjadi pusaka negara: Sang Saka Merah Putih. Nilainya begitu sakral. Sejak dikibarkan di Pegangsaan Timur 56, bendera itu pantang diturunkan. Pasukan Berani Mati yang dibentuk sehari setelah proklamasi, berjaga 24 jam, siap menghadang tentara Jepang jika mereka datang hendak menurunkannya. Tonggak kemerdekaan sudah ditancapkan, sang merah putih sudah berkibar, nyawa-nyawa jiwa merdeka siap menjaganya agar tetap berkibar dan terus di angkasa Indonesia. Satu hari, dua hari, satu pekan, dua pekan… Sang Merah Putih tetap berkibar.

Sementara itu, pasukan Sekutu dikabarkan mulai mendarat di sejumlah pantai dan kota-kota Indonesia. Detik-detik perang mempertahankan kemerdekaan, sudah di depan mata. Sukarno sudah menghitung situasi itu. Surat-surat yang ditulisnya di subuh 17 Agustus 1945, antara lain berisi instruksi kepada para pemimpin pergerakan. (Ibid roso daras, 2016)

Kepada yang satu, diperintahkan untuk menghimpun kekuatan untuk kepentingan pertahanan. Kepada yang lain, Sukarno memerintahkan agar mengambil alih pemerintahan mulai dari tingkatan desa. Dan surat lain berbunyi, “Besok Saudara akan mendengar melalui radio, bahwa kita sekarang telah menjadi rakyat yang merdeka. Begitu Saudara mendengar berita itu, bentuklah segera komite kemerdekaan daerah di setiap kota dalam daerah Saudara.” Waktu melintas tahun, ketika Sekutu benar-benar mendarat dan menumpas Indonesia merdeka. Ia menangkap, menahan, bahkan membunuh para pejuang kita. Sukarno dan keluarga yang tak lagi aman di Jakarta, hijrah ke Yogyakarta. Dengan demikian pindah pula pemerintahan pusat dari Jakarta ke Yogyakarta. Bagaimana nasib bendera pusaka yang dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945?. (Ibid roso daras, 2016)

Sejarah selalu mencatat peristiwa-peristiwa bersejarah. Sang bendera pusaka, adalah sejarah yang mutlak harus dicatat. Dalam situasi negara chaos, menghadapi pertempuran melawan Sekutu di satu sisi, serta menghadapi perundingan di sisi yang lain, ternyata ada sekuel yang menarik tekait bendera pusaka kita. Adalah intelijen Sekutu yang tercium tengah mengendus-endus keberadaan bendera pusaka. Barangkali, upaya mereka menenggelamkan bahtera Indonesia merdeka, tidak afdol kalau tidak bersamaan dengan penguburan sang pataka.

Karenanya, pencarian bendera merah putih –untuk dimusnahkan– berlangsung di antara peperangan dan perundingan. Sang dwi warna, rupanya sudah diamankan oleh para pejuang kemerdekaan. Ia disimpan, disembunyikan, dilindungi dengan nyawa. Tidak hanya itu, sistem penyimpanan pun dibuat mobile, bergerak terus dari satu rumah ke rumah lain, dari satu tempat ke tempat lain. “Pemunculan” sang merah putih berhasil direkam oleh Dr. Soeharto, dokter pribadi Bung Karno pada April 1949. (Ibid roso daras, 2016)

Soeharto sendiri tidak tahu, di mana sang merah putih antara kurun 1945 – April 1949. Yang jelas, malam itu, April 1949 ia kedatangan tami misterius bernama Muthahar. Tokoh ini di kemudian hari sempat menjabat duta besar Republik Indonesia serta pemimpin Kwartir Nasional Pramuka. Malam itu, ia datang dengan menyelinap, takut tercium Nica. Di tangannya terpegang dua carik kain, merah di kanan, putih di kiri. Itulah Sang Saka Merah Putih, yang untuk tujuan pengamanan, telah dilepas jahitannya, dan diamankan sedemikian rupa sebagai sebuah benda maha penting bagi tonggak berdirinya republik. Muthahar, malam itu, menitipkan sang dwi warna kepada Dr. Soeharto. Mendapat amanat penting, Dr. Soeharto menunaikannya dengan sangat hati-hati. Ia menyimpan potongan kain merah di satu tempat, dan kain putih jauh di tempat lain. Maksudnya, menjaga kemungkinan penggeledahan Nica. (Ibid roso daras, 2016)

Tercatat, tidak lama sang merah putih disimpan di rumah Dr. Soeharto di Jl. Kramat 128, Jakarta Pusat. Beberapa malam berikutnya, Muthahar kembali datang untuk mengambil dua potong kain pusaka tadi, dan memindahkannya ke tempat berbeda. Entah berapa kali, puluh kali, ratus kali Muthahar menyelinap, mengendap, memindahkan tempat persembunyian bendera proklamasi. Satu tekad dikandung badan, benda pusaka itu tidak boleh jatuh ke tangan Belanda, dan akan tetap menjadi pusaka kita selama-lamanya.

Tuhan Maha Besar. Sang merah putih, meski tak lagi semerah darah dan seputih melati, tetapi dia tetap utuh hingga hari ini. Merahnya yang memudar digerogoti waktu, tetap menyiratkan tekad berani semerah darah. Meski putihnya menguning diretas waktu, tetapi putihnya tetap menyiratkan tekad suci seputih melati. Dan dia, adalah perlambang Ibu Pertiwi, yang akan kita bela sampai mati.

Penulis: Rusdianto Samawa

Editor: AF

Related Posts

Subscribe Our Newsletter