omfizi.com || Membaca Indonesia seperti kita melihat Bukit Sinai dan lembah yang tak berbatas oleh iklim. Indonesia memiliki adagium itu karena dianggap sangat sulit untuk di takluk. Tetapi kalau di jajah ia harus di akui. Sebuah kisah perang Bubat di tanah Sunda disebabkan oleh perselisihan yang tak kunjung selesai antara Mahapatih Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari kerajaan Sunda. Perang itu terjadi di sekitar wilayah pesanggrahan Bubat yang mengakibatkan tewasnya rombongan pasukan Sunda. (baca; Serat pararatan dan kidung Sunda).
Perang terjadi, diakibatkan oleh Mahapatih Gajah Mada karena hasutan penjajah untuk menguasai kerajaan Sunda. Niat Mahapatih ingin memenuhi Sumpah palapa yang di buat sebelum masa hayam Wuruk naik tahta. Bagi Mahapatih hanya kerajaan Sunda yang belum dikuasai. Kalau kerajaan lain di nusantara bahkan Asia sudah terkuasai oleh Majapahit.
Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Kemudian, Majapahit Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu. (Sumber: Wikipedia}
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Menurut Soekmono (1973&1988:72), katakan bahwa Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda. Raja Sunda beserta segenap pejabat kerajaan Sunda binasa di lapangan Bubat.
Pelajaran penting dari peristiwa Bubat ini, kedepan kita akan ambil pelajaran dari kondisi sekarang. Dimana ekspansi China melalui jaringan perkawinan, keluarga, ekonomi, dan politik sangat rapi dan nampaknya Indonesia segera mereka genggam. Apalagi para Taipan (expatriat) menguasai reklamasi, membeli apartemen, menggusur dan mencongkel tanah-tanah kosong pribumi serta makar tanam cabai.
Ini jelas merusak hubungan nasional Indonesia, karena terjadi kesenjangan dan mengkanalisasi strata sosial masyarakat. Cara-cara seperti ini akan berlangsung hingga puluhan tahun kedepan. Tak pelak, arah kebijakan negara justru membuka luas ekspansi China dalam bidang apapun, termasuk bisnis air liur dengan importir para pekerja seks komersial tirai bambu yang menyebar di berbagai club-club malam dan daerah-daerah pedesaan di Indonesia.
Kebijakan itulah memutuskan mata rantai hubungan kerja sosial masyarakat Indonesia. Tak lagi memiliki spirit gotong royong. Belum lama ini kebijakan negara menerapkan isolasi tak terbatas dalam hubungan warga negara antar kedua negara, seperti mengajukan UU Dwikewarganegaraan dan peraturan pemerintah yang membolehkan pihak asing untuk beraktivitas di Indonesia termasuk memiliki rumah, keluarga dan tempat tinggal secara bebas.
Sejumlah peraturan itu sangat menindas rakyat sehingga timbul letupan reaksi dari berbagai kalangan aktivis, cyber army, media sosial, pengamat dan lainnya yang mencerminkan sentimen kekecewaan dan kemarahan masyarakat Indonesia. Apalagi beberapa tahun belakangan, sentimen terhadap kebangkitan Partai Komunis Indonesia kian marak dan meluas. Di tambah dalam bulan desember ini, bekas anggota Partai Komunis Indonesia sedang berkeliling Indonesia dalam tujuan tertentu.
Tentu, sentimen ini berkembang menjadi aneka rasa persaingan dan permusuhan antara pemerintah dengan warga negara itu sendiri. Akibat kebijakan dan tindakan yang represif terhadap hak konstitusional rakyat.
Teologi As-Shaff [Shaffan]
Merujuk pada histori Bubat dan fenomena ekspansi China ke jantung paru-paru Indonesia. Ini pertanda bahwa negara kesatuan Indonesia sedang di bancakkan oleh agen asing dan aseng. Mereka sedang perang Bratayuda di perut bumi Indonesia hanya karena saling berebut isi dan lahan yang mereka gali dari saripatih pribumi.
Apa boleh buat, pribumi tinggal menerima recehan celeng hasil dari jualan rampokan isi perut bumi negara ini. Tak kuat menghadapinya, pribumi berharap melalui doa kepada Tuhan dan sesekali berdemo untuk sekedar membela diri. Faktanya, bubat akan kembali terjadi apabila tidak segera mereview rentetan peristiwa dan rujukan bahwa mereka akan menguasai Indonesia dan menghabiskan seluruh keaslian bangsa ini. Bisa dibayangkan tinggal sejarah dan kenang-kenangan masa lalu. Apa kita ingin seperti demikian terjadi?.
Tentu “tidak”, kita punya modal doktrin Ash Shaff:1-14. Surat Allah ini masuk kategori surat Madaniyah atau ayat-ayat perubahan. Surat dan ayat ini sebagai penasehat dan kekuatan untuk menggerakan seluruh potensi umat Islam. Kemunculan Ash-Shaff bisa saja transformasi sebagai alat pembebas Indonesia dari dominasi neokocina. Sebagaimana Madinah, Eropa dan Mesir yang memiliki perbedaan corak kebudayaan yang bebas dari komunis (ateis) dan memilih menjadi kapitalis.
Apalagi masa globalisasi ini corak karakter manusia memiliki kehendak kebebasan, ujaran dan kuasa untuk menguasai, seperti kesaksian banyak orang tentang cyber-cyber neokocina yang menggempur dan menebar viral fitnah terhadap umat Islam bahkan ulama, habib, guru ustad, kiai tidak luput dari buldoser bulliying mereka. Corak itulah yang sedang dihadapi Indonesia seolah rakyat dan bangsa ini sedang mencari jati dirinya dalam menentukan keyakinan, ideologi dan eksperimen.
Kita butuh konstruksi As-Shaff dalam kehidupan rakyat yang saling berkait antara sikap, prilaku, budaya, ekonomi, politik dan kedaulatan itu sendiri. Posisi As-Shaff sebagai dasar-dasar komunikasi antar masyarakat untuk saling perkuat satu sama lainnya. As-Shaff menjaditraiger doktrin pesan-pesan agama yang menyatakan kesamaan ditengah keragaman dan perbedaan sebagai epicentrum rasionalitas rakyat.
Pandangan as-shaff secara tersirat telah banyak dikemukakan dalam berbagai literatur dan tafsir tokoh-tokoh Islam seperti Hasan Hanafi, Sayyid Qutub, Jamaluddin Al Afgani, KH. Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Salahuddin Al Ayyubi, Umar Bin khattab dan Ali ra. Tokoh-tokoh ini telah menuai pengalaman dalam menghimpun umat dengan menerapkan standar As-Shaff untuk mendiagnosa pergerakan hegemoni penjajah dan kaum bermental inlander terhadap bangsanya sendiri.
Dari pengalaman mereka itulah untuk dapat melihat keIndonesiaan kita dalam berbagai khasanah peristiwa yang terjadi bahwa bangsa ini sedang sakit sekarat dan butuh agenda “revolusi putih” sebagai solusi atas masalah kontraksi sosial kemanusiaan. As-shaff adalah antitesis hegemoni asing dan aseng yang akan melumat kapitalisme, komunisme dan liberalisme.
Apalagi, opini dunia mengidolakan demokrasi dan menjalarkan globalisasi sebagai mata rantai dari system rusak yang mereka anut dan agungkan. Padahal para tokoh-tokoh Islam diatas, sebelumnya memberikan warningterhadap system kehidupan yang merusak norma politik, moralitas, budaya dan ekonomi. Ditambah gempuran isu terorisme yang direkayasa dari bom botol hingga buatan bom panci baru-baru ini. Hal ini patut kita waspadai dari fitnahan teror.
Hal penting digaris bawahi, bahwa as-shaff terkandung tiga unsur; pertama, kebenaran (kejujuran). Sebagaimana terdapat pada ayat 2 (dua), perintah dan pertanyaan kepada manusia“……….kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan ?”. Sebagai contoh akhir-akhir ini puluhan ribuan akun palsu, ribuan group dan kelompok cyber crime yang bertujuan menjatuhkan martabat bangsa, mencitrakan sesuatu diluar cara-cara baik, hingga memproduksi kebohongan yang sejati mereka ingin mengalahkan kebenaran. Ayat ini sebuah deskripsi singkat tapi penuh norma-norma yang mengatur kehidupan manusia dalam persfektif system apapun. Namun, sungguh disayangkan pewajahan diri mereka adalah kebohongan sangat luar biasa.
Kedua, kebersamaan, As-Shaff:[4]“…….sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seperti bangunan yang tersusun kokoh”. Proses bangsa ini merdeka dan besar berproses dari perbedaan yang dinamisasikan secara baik dan benar sehingga teruji melalui keadaban interaksi untuk kepentingan nasional. Termaktub agar rakyat berada dalam satu barisan untuk menerangkan segala bentuk hipotesis masa depan dan tanggungjawab nasionalisme kedaulatan bangsa agar setiap langkah mendapat ridhai Allah swt sehingga terhindar dari malapetaka.
Sementara penegasan konsistensi terdapat pada As-Shaff:[3] bahwa “Tuhan sangat tidak menyukai bahkan murka kepada orang pandai yang berkata tetapi tidak melaksanakan apa yang diucapkan” dan sambungan As-Shaff:[4] bahwa “Tuhan merestui orang-orang yang sesuai antara ucapan, cara berfikir, sikap, laku, dan perbuatannya yakni manusia yang gemar menegakkan martabatnya sendiri dan mampu berjuang pada jalan lurus dalam barisan satu sebagaimana jalan “sirathal mustaqim” yang diinginkan oleh Tuhan”. Jalan ini sering dikonstruksikan tiga persfektif yakni block timur, blok barat dan blok neokocina.
Ketiga, Universal [Rahmatan Lil Alamin], Allah jelaskan bahwa tujuan ciptakan langit, bumi, air dan semua yang hidup untuk bertasbih kepada-Nya, seperti As-Shaff:[1] bahwa “……bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi; dan Dia-lah yang maha perkasa lagi maha bijaksana”.
Hal ini berkait dengan pemimpin yang harus memiliki paham bijak tentang universal[Rahmatan Lil Alamin] walaupun banyak kepentingan agama yang harus di perhatikan. Realitas sekarang bisa dijadikan rujukan oleh rakyat untuk saling menasehati bahwa sikap pemimpin terhadap penistaan agama tak mencakup aspek objektif, terkesan membela dan melindungi hingga intervensi hukum. Bahkan persidangan pun berbau aroma tak sedap setelah berpindah-pindah tempat. Cara-cara yang tak baik dicontohkan kepada rakyat hanya karena alasan keamanan dan ketertiban.
Padahal pemimpin nasional seyogyanya diharapkan memiliki ketegasan sikap dalam menjaga marwah keragaman, kebersamaan dan menciptakan tatanan yang damai. Seperti nasehat Salahuddin al-Ayubi kepada rakyatnya“Hai rakyatku, kalau hendak kalian disakiti, luruskanlah kiblat suku bangsanya dengan kedamaian, hingga kalian tenang. Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka dan tidak akan diberikan petunjuk kepada kaum fasik”. Mari kita menilai realitas buzzer-buzzer bulliying, proxy war, akun-akun siluman dan pendukung para penista agama, mereka bernaung dibawah insting irasionalitas, kompromis, korupsi, penggusuran dan intrik politik yang merugikan banyak pihak hanya untuk membela para tuan-tuannya.
Revolusi Kebangkitan Islam
Kasus dan peristiwa, banyak menyita perhatian publik. Tak ketinggalan kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahya Purnama terhadap al-Maidah 51 mendorong umat Islam untuk melakukan sesuatu, mulai dari demo aksi bela Islam I – III. Mengapa? hal itu membuat rakyat terusik karena keadilan hukum tergadai dalam tengkulak irasionalitas kuasa para pemimpin dan pejabat tanpa memperhatikan sisi kemanusiaan. Sehingga pemimpin dan pejabat negara yang harusnya objektif, malah berpaling dari kebenaran hukum al-Maidah:51.
Bahkan alat mereka berpaling dengan membuat viralisasi teori tafsir al-Maidah:51 dengan cara-cara dan adagium yang mebiaskan substansi masalah sehingga memunculkan anarki-anarki baru diberbagai kelompok dan kelas sosial yang tentu berakibat pada radikalisasi [kontraksi] sosial. Apalagi, mereka memainkan peran struktural kekuasaan negara untuk menolak realitas kebenaran, terutama mendowngradedoktrin agama yang dianggap tidak relevan sehingga habitus religiusitas umat berada dalam ruang hampa.
Kasus al-Maidah:51 telah membelah rakyat dalam beberapa bentuk karakter, yakni sikap tengahan, sikap dereligi, sikap etnoreligi, sikapsentrisreligi dan rasisreligi. Sikap inilah yang menjadikan al-Maidah:51 tak dianggap sebagai aji mumpung dalam memilih pemimpin sehingga bisa ditengok. Betapa mereka mengalami distorsi dari sisi moral dan tindakan sehingga perbedaan itu dijadikan sebuah alat legitimasi homini lupus[fitnah].
Sebagaimana QS 61:14 menerangkan “jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikutnya yang setia bahwa kamilah penolong agama Allah, lalu golongan Bani Israil masuk Islam dan sebagian non Islam; maka Allah selalu berikan kekuatan kepada Islam sehingga menjadi agama yang menang”. Dari kisah 61:14 itu, maka kisah perang Bubat di atas tidak akan terjadi pada bangsa Indonesia, apabila simpul-simpul Islam segera menyatu, berhimpun dan berkumpul untuk meluruskan kiblat bangsa ini. (Baca: Gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah).
Maka tanda-tanda revolusi kebangkitan Islam dalam as-Shaff [baca: Teologi shaffan] telah di“takbirkan [suarakan]” dalam suara-suara perubahan. Tanda-tanda tersebut adalahleadershif umara, ulama dan ulil albab (pemuda) dalam menyikapi situasi sosial politik dan ekonomi. Komponen leadershif sangat strategis dalam system sebuah negara (siyasah) untuk mendorong objektifitas kebenaran dan menjamin kebersamaan tanpa terjebak pada sikap rasialis sehingga memberikan pencerahan.
Sebagaimana kisah QS 61:6 yakni “Isa as sesungguhnya diutus untuk manusia sebagai utusan Allah, yang membenarkan kitab taurat dan menyampaikan message gembira bahwa suatu saat sesudah Nabi Isa akan datang Ahmad (Muhammad) yang berperan membawa bukti-bukti nyata pencerahan peradaban manusia, namun kedatangan Ahmad itu banyak penolakan karena dianggap tukang sihir yang nyata.” Apabila kita menghubungkan dengan paradigma sekarang, justru sangat dramatis bentuk penolakan terhadap eksistensi kepemimpinan ulama dan manhaj Nabi Muhammad saw. Contoh kasus kita bisa saksikan secara gamblang penistaan agama yang membuat jutaan umat Islam tersinggung dan merasa dihinakan, walaupun sudah minta maaf.
Bisa juga dibuktikan dengan berbagai kasus penistaan di Prancis, Myanmar, Denmark, Australia, dan Amerika Serikat yang memuat karikatur Nabi Muhammad saw dengan berbagai bentuk model terkadang dipersandingkan perempuan, hobbi berperang, membunuh manusia dan lainnya.
Hal ini dijadikan sebagai bentuk perbenturan antar agama dan rakyat [pemeluknya]. Akan tetapi dalam QS 61:7 dengan penjelasan gamblang “….dan siapakah lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan pembicaraan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada Islam ? dan Allah sendiri tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim tersebut”. Mengapa meski banyak penolakan terhadap realitas kebenaran agama atas dasar egosentris, etnoreligi dan sentrisreligi karena mayoritas penafsiran bukan pada sumbuh pencerahan namun pada titik demarkasi ego kepentingan antara agama dan realitas politik kekuasaan sehingga ayat-ayat kita sucipun dinistakan.
Sehingga terlalu sering kita jumpai perpecahan yang disulut oleh tipu daya sebagian banyak buzzer-buzzer, media massa, elektronik, surat kabar, selebaran hingga meme media sosial facebook dan twitter. Inilah fenomena mainstream egosentris individu dan kelompok seolah-olah penista agama dan perusak itu dewa penyelamat sehingga tampilan-tampilan media lebih mengarah pada tipu daya yang provokatif.
Padahal seharusnya tahu bahwa QS 61:8 menegaskan bahwa “manusia kebanyakan memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya)-nya. Tetapi, Allah (justru) sempurnakan cahaya (Muhammad), walaupun banyak orang membencinya, terutama yang tidak memahami agama sebagai landasan moral dalam kehidupan sosial sehari-hari”.
Maka “revolusi putih” tanda kebangkitan Islam harus di mulai dari launcing al-Maidah:51 dan as-Shaff bahwa leadershif Islam sangat vital dalam aspek apapun untuk membawa petunjuk agama keranah publik sebagai landasan utama pada aspek kehiduoan sosial politik dan ekonomi.
Apalagi kita berkaca pada perkembangan ekonomi dan kondisi negara yang kian ambruk dengan banyaknya hutang. Sehingga melahirkan negara yang berwatak etnomarketing [menjual negara]. Kapitalisme maupun komunisme tidak pernah memberikan solusi perniagaan yang baik dan benar terhadap rakyat. Konstruksi perniagaan yang mereka bangun diatas paradigma sumir.
Padahal perniagaan itu dapat membawa manusia pada keterjaminan kesejahteraan yang melimpah, sebagaimana tersirat dalam QS. 61:[10-12] bahwa “aku tunjukan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih yang bersyarat beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mampu berjihad dijalan Allah dengan harta jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukanmu ke dalam jannah yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar”.
Tentu perniagaan yang diinginkan, perniagaan cara-cara Islam tanpa menghisap satu sama lainnya. Perniagaan baik itu sesuatu yang dikehendaki secara halal baik dan benar sehingga karunia Allah selalu datang dalam bentuk apapun ketika di kehendaki disetiap waktu. Hal ini harus dipikirkan sedemikian rupa untuk memperbaiki seluruh system kehidupan sosial masyarakat.
Maka terlebih pada harapan terjadinya revolusi kebangkitan Islam, karena aspek anjuran sudah terpenuhi untuk revolusi dan tanda-tandanya sudah tepat, pertama; munculnya kesadaran tauhid, sadar atas kewajiban dan tanggungjawab bahwa ketauhidan lebih penting dari segalanya dalam meneguhkan agama Islam.
Kedua; iqranisasi [iqr’a], tumbuh dan cerdas membaca zaman merupakan upaya ejawantah terhadap sejarah peradaban islam yang selama ini dimaknai gagal. Maka, jalan iqra sebagai alternatif umat islam untuk membaca masa depan. Sehingga menjaga lisan ucapan, literasi dan keilmuan sebagai pondasi intelektual agar bisa mendorong arus perubahan yang dinamis dan menentukan arah negara dan bangsa demi tercapainya tujuan nasional secara bersama, damai dan toleransi.
Ketiga; kesadaran majelis, sudah menjadi budaya Islam membangun majelis dakwah dari kota ke desa, begitupun sebaliknya. Kemunculan majelis-majelis memberi kesadaran pentingnya menjaga ukhuwah, kedamaian dan keimanan. Majelis ini terus terang menjamur dan memiliki massa Islam yang patut diperhitungkan, seperti majelis Rasulullah, majelis as-Syuhada, majelis Al-fateha, dan majelis lainnya dari besar hingga kecil. Dari majelis inilah terbangun kesadaran Islam progressif untuk harapan keadilan.
Keempat; kesadaran harakah, bisa kita bercermin pada fakta aksi bela Islam I hingga III yang puncaknya pada gerakan nasional Sholat subuh berjama’ah, yang disebut 1212. Terbangunnyagiroh para mujahid Islam sudah tak terbendung. Kesadaran harakah itu menjadi momok bagi pemerintahan sekarang, sehingga berbagai macam cara di hentikan, termasuk upaya penangkapan aktivis dan tuduhan upaya makar terhadap pemerintahan yang saat ini. Kesadaran ini tak akan mungkin bisa di cegah, apalagi Habib Rizieq Shihab sudah kumandangkan diberbagai media, apabila penista agama tidak dipenjara maka akan lakukan revolusi bersama para ulama, kiyai, ustad, mujahid, pemuda Islam dan para tokoh-tokoh. Dalam hal ini bisa juga Habib Rizieq Shihab dikenal sebagai Mahapatih Majapahit Gajah Mada untuk merebut kerajaan Sunda dengan berbagai strategi perang yang muncul.
Tentu revolusi Islam saat ini harus belajar dari perang uhud, perang badar dan perang modern saat ini. Sekali lagi ini kebangkita dan kesadaran harakah umat Islam sedang tumbuh dan bersemi. Lalu pemerintah punya apa? walaupun beberapa kali ditandingin dengan aksi serupa tetapi massa aksi bayaran, sungguh miris.
Terakhir tulisan ini, teologi as-Shaff [shaffan] memiliki visi persatuan dan nasionalisme dari segala aspek diatas kebenaran Islam sehingga dimanapun berada harus bersikap bersama dan memelihara hidup secara bersama pula. Penopang Shaffan (bersama) adalah jalan revolusi yang dimulai dari sabbaha lillahimafissama sehingga dapat diterangkan secara jelas bahwa orang-orang penghasut itu adalah fasik dan bodoh seperti cyber army yang kerap memfitnah, mereka ibarat keledai yang mengaku ilmunya tinggi, namun kuper dan bodoh. Kalau dalam As-Shaff dan Al Jumu’ah ditujukan pada kaum yahudian, neokochina, nekolim dan neolib yang selalu membenci agama dan menyebar kuat secara ekonomi di seluruh dunia dengan membuat kontraksi terhadap manusia. Maka Islam sudah saatnya revolusi membentuk pemerintahan berbasis keummatan dan pertanda kebangkitan telah dilaunchingkan.
Penulis :Rusdianto Samawa
Editor : Amak Fizi