![]() |
Mas Agus dan Mpok Sylvi pasca pemeriksaan kesehatan pasca pengumuman maju menjadi salah satu kandidat paslon gubernur dan wakilnya beberapa saat lalu. |
Ketika kekecewaan terhadap situasi kekinian memuncak, orang biasanya berpaling ke masa lalu yang diasumsi lebih baik. Dalam konteks kesejahteraan, publik tak canggung melongok kembali ke masa pemerintahan Orde Baru (1966-1998), karena rezim ini dianggap lebih kompeten memenuhi kebutuhan dasar rakyat, seperti pangan dan sandang, dibandingkan pemerintahan era reformasi.
Terkait kekecewaan atas masalah kepemimpinan nasional dewasa ini, rujukan inspirasi tak hanya fenomena sejarah kepemimpinan nasional di zaman perjuangan merebut dan mempertahankan Kemerdekaan, yang dianggap sebagai tipikal kepemimpinan ideal, tetapi juga tren mutakhir di tingkat global. Tren kepemimpinan alternatif dewasa ini menyeruak dari Rusia di bawah Vladimir Putin-Medvedev, munculnya tokoh-tokoh sosialis di negara-negara Amerika Latin (seperti Venezuela, Bolivia, Brazil dan lainnya), hingga fenomena Barack Obama, calon presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat.
Itu artinya, dalam konteks Indonesia, gugatan terhadap kepemimpinan nasional dewasa ini tentu tak hanya karena dominannya wajah-wajah lama di panggung kekuasaan, tetapi juga karena masih banyaknya constraint (halangan) bagi munculnya lapisan muda dalam kepemimpinan negara (pusat dan daerah).
Krisis Kepemimpinan
Kondisi sekarang memang bisa disebut krisis kepemimpinan. Dalam lapangan politik, krisis kepemimpinan berarti langkanya atau pun tiadanya kepemimpinan politik yang bisa memenuhi harapan banyak orang dalam hal visi dan komitmen pada visi itu, kompetensi koordinatif, manajerial, organisasi, memberi inspirasi dan motivasi, pengetahuan dan kemampuan intelektual pada umumnya, integritas, kepribadian dan gaya hidup, termasuk keterbukaan, kesederhanaan, kejujuran, kemampuan dan kesediaan untuk mendengarkan dan jika perlu menerima kritik dan pendapat orang lain, kesediaan dan kemampuan untuk belajar terus-menerus. Krisis kepemimpinan juga berarti sulitnya rakyat menentukan pilihan atas seorang pemimpin. Ini bisa disebabkan tidak hanya langkanya tokoh pemimpin, tetapi juga karena faktor rakyat sendiri yang kesulitan dan tidak cermat memilih pemimpin.
Urgensi kepemimpinan muda, selain masalah minimnya kinerja kepemimpinan lama, tentu juga melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa guna mencapai tujuan-tujuan negara yang masih terbengkalai. Namun dalam konteks ini, esensi gugatan bukan didasarkan pada dikotomi tua-muda, tetapi kerisauan atas spirit kepemimpinan lama yang tidak paralel dengan cita-cita pembaruan. Dengan demikian, sekalipun kelak kaum muda tampil di panggung kekuasaan, ia tak boleh larut dalam “status quo”, melanjutkan sistem lama atau mengganti dengan sistem baru tanpa ada transformasi fundamental dan substansial bagi kehidupan rakyat. Jangan sampai alih generasi hanya ibarat bertukar kulit, tetapi isinya tetap sama. Alih generasi harus dikuti perubahan mentalitas dan mindset untuk pembaruan serta tidak terjebak kepada “spiral pengingkaran amanat rakyat”.
Perlunya Tokoh Muda
Dari sekian banyak calon gubernur DKI Agus Harimurti Yudhoyono hadir sebagai tokoh yang jauh lebih muda dari kandidat lain, usia Agus 38 tahun terpaut jauh dari Basuki yang berusia 50 tahun, sementara kandidat lain Anies Baswedan berusia 47 tahun. Tentu usia Agus sebagai kandidat termuda akan menjadi daya tarik tensendiri bagi para pemilih pemula dan masyarakat DKI pada umumnya.
Dalam kisah Islam, Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi seorang Rasul pada usia 40 tahun, artinya usia tersebut adalah waktu yang matang untuk menjadi pemimpin. Kalau sekarang kita berandai-andai usia Agus Harimurti Yudhoyono 38 tahun, maka prediksi banyak orang akan sangat mungkin terjadi. Tahun 2019 usia Agus genap 40 tahun, jika aspirasi publik mengalami tren naik. Pada usia ini Agus akan tampil sebagai capres termuda di Indonesia, jika dirunut pada tahun 1945 Soekarno berusia 44 tahun memimpin Indonesia, ditahun 1967 Soeharto berusia 46 tahun memimpin Indonesia, ditahun 1998 Habibie berusia 62 tahun menjadi presiden menggantikan Soeharto, ditahun 1999 Abdurahman Wahid berusia 59 tahun menjadi Presiden, ditahun 2001 usia Megawati 54 tahun saat dilantik menjadi Presiden, ditahun 2004 usia SBY 55 tahun, tahun 2014 Jokowi berusia 53 tahun dilantik mejadi Presiden Republik Indonesia. Jika pada tahun 2019 Agus didorong dan menjadi Presiden RI terpilih, maka Agus akan menjadi Presiden RI termuda sepanjang sejarah republik ini berdiri.
Dalam sejarah kita, spirit kepemimpinan muda adalah semangat untuk berubah ke arah lebih baik, bersatu, serta mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan sendiri. Momentum Manifesto Politik yang dikeluarkan kaum muda yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia 1925 dan Sumpah Pemuda 1928 meluluhkan perbedaan dan ragam. kepentingan sempit, untuk membangun kejayaan “masyarakat yang dibayangkan” (meminjam istilah Ben Anderson). Manifesto itu kemudian makin mengerucut hingga puncaknya Proklamasi Kemerdekaan 1945, sebagai sintesis perjuangan seluruh bangsa Indonesia.
Namun memasuki era otoriter Demokrasi Terpimpin (1959-1966), wadah melahirkan kepemimpinan yang otentik itu menjadi mandul. Kondisi lebih parah terjadi sejak Orde Baru (1966-1998). Perubahan politik tahun 1966 tidak diikuti regenerasi kepemimpinan progresif. Selama 32 tahun, alih generasi hanya terjadi di lingkungan militer. Sebaliknya, regenerasi kepemimpinan sipil mengalami pengerdilan sistematis. Situasi ini ikut menjelaskan, mengapa kepemimpinan nasional di era demokratisasi sekarang ini kehilangan elan vitalnya.
Realitas politik Indonesia sekarang, seperti dikatakan sejarawan senior Taufik Abdullah (2008) didominasi elit politik, bukan pemimpin secara psikologis, pemimpin dekat dengan rakyat yang dipimpin. Pemimpin bukan penguasa, melainkan sosok teladan yang memiliki visi jangka panjang untuk kepentingan rakyat, bangsa, negara dan kemanusiaan. Mereka tidak hanya memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, tetapi juga sosok patriot dan negarawan. Sementara elit politik terkesan “disconneted“ dengan rakyat. Visi mereka terkait pergumulan kekuasaan untuk memenangkan kepentingan sempit dan jangka pendek.
Memperhatikan realitas krisis sekarang, bangsa ini memang sangat membutuhkan lebih banyak pemimpin daripada elit politik, baik untuk konteks kepemimpinan nasional maupun lokal. Ini didasari fakta, krisis multidimensi terjadi di seluruh penjuru negeri. Tentu saja pemimpin dimaksud bukan dalam konotasi feodalistik, seperti zaman raja-raja dulu atau amtenaar di zaman kolonial, melainkan tipikal kepemimpinan modern-rasional (meminjam istilah Max Weber). Dalam konteks inilah, suatu kepemimpinan baru menjadi keniscayaan sejarah di Indonesia. (Penulis: Haikal Akivis Muda dan Mahasiswa Unas Jakarta)