Pemilukada merupakan system baru dalam peta politik Indonesia seiring dengan pergantian rezim melalui tahapan pemilu pasca reformasi. Masa reformasi baik itu Gubernur, Bupati, Walikota dan kepala Desa/lurah dilakukan pemilihan langsung atau yang disebut demokrasi langsung.
Praktek pemilihan secara langsung diyakini akan mampu menciptakan pemerintahan yang sangat baik dan demokrasi sehingga dapat meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat.
Kesejahteraan memberi peluang dan ruang bagi rakyat dalam menentukan pilihannya sehingga akuntabilitas kandidat terpilih dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, pemilukada merupakan instrumentasi lain dari filterisasi elit-elit local sehingga potensi konflik anta relit dan abuse of power dapat diminimalisir.
Smith dalam Gregorius Sahdan (2008 : 51) menegaskan bahwa pemilihan secara langsung bagi kepala daerah dan DPRD merupakan syarat utama terwujudnya pemerintahan yang akuntabel dan responsive serta terbangunnya political equality di tingkat local.
Meskipun realitasnya tidak semua kepala daerah dipilih secara langsung dapat menunjukkan akuntabilitas dan responsive pada permasalahan rakyat bila dibandingkan dengan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD.
Namun secara procedural system pemilihan langsung akan lebih baik dibandingkan system pelihan tidak langsung (indirect elected).
Dalam konteks ini akan muncul implikasi yaitu ketika pemilukada langsung hanya dilihat sebagai bentuk pemenuhan dan tuntutan regulasi dimana prosedur demokrasi lebih penting dibandingkan substansi demokrasi itu sendiri.
Maka akan sangat terbuka kemungkinan pemilukada diwarnai oleh elit yang berkompetisi dan saling tawar menawar kepentingan.
Sehingga kekuatan politik informal akan memainkan peranan penting tidak saja dalam pentuan kandidat di internal partai politik maupun pada proses pemilihan.
Sekarang ini proses politik dan demokrasi sedang berjalan masih banyak dipandang tatanan aturan dan mekanisme semata, tetapi belum sepenuhnya diwujudkan pemerintahan yang aspiratif dan membuka ruang partisipasi rakyat secara luas.
Oleh karena itu, demokrasi yag berhasil diwujudkan iitu sering disebut demokrasi sekedar mekanais, belum mencapai demokrasi substantive. Pada saat demokrasi hanya dilihat sebagai cara, maka sebaliknya akan dilihat juga sebagai mekanisme semata.
Demokrasi akan terlepas dari nilai dasar dan filosofis lahir, konsep dan berkembangnya praktek demokrasi. Akibatnya, praktek politik dan demokrasi yang tersisa menjadi sekedar mekanisme untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Termasuk perbuatan yang bertentangan dengan nilai dan prinsip demokrasi.
Politik dan demokrasi mekanis disebut oleh Dahl sebagai “demokrasi poliarkal” (polyarcal democracy). Dengan kata lain, demokrasi ditentukan oleh keberadaan proses-proses tersebut. Namun kualitas deemokrasi seperti itu tidak disebutkan oleh Dahl. Padahal kualitas menjadi penentu dan pembanding apakah suatu Negara lebih demokratis dari Negara lain.
Maka oleh karena itu, demokrasi lebih memerlukan proses institusionalisasi yakni tersedia apa yang disebut Alexis de Tocquville sebagai kesetaraan kondisi demokrasi sejatinya memerlukan kondisi politik, social, dan ekonomi demi kelangsungannya.
Alexis de Tocquville menegaskan bahwa demokrasi merupakan suatu subyek multidimensional yang meliputi aspek politik, moral, sosiologis, ekonomi, kesejahteraan, antropologis dan psikologis.
Hanya saja di Indonesia, pemilukada seringkali tidak dijadikan parameter yang akurat untuk mengukur demokratis tidaknya suatu system politik.
Artinya, ada dan tidaknya pemilukada disuatu Negara tidak secara otomatis menggambarkan ada dan tidak kehidupan demokrasi politik di Negara tersebut.
Dalam konteks semacam ini, pemilukada harus menjadi parameter keberhasilan suatu Negara. Artinya pemilukada harus di jalankan sesuai dengan prinsip demokrasi free and fair maka tentu akan semakin subur demokratisasinya.
Ada banyak alasan mengapa pemilukada harus free and fair dalam kehidupan demokrasi, pertama pemilukada menjadi proses transfer kekuasaan secara baik dan damai. Kedua, menemukan cara merebut kekuasaan, memecah konflik, menyalurkan kesejahteraan dan permudah pelayanan.
Meneurut Ozbudun untuk menjamin pemilukada yang free and fair, maka ada tiga hal untuk melihat pemilukada itu free and fair competitifness.
Pelaksanaan pemilukada yang free and fair bukan hanya dapat menjamin legitimasi politik dan kredibilitas pemerintahan hasil pemilukada, tetapi juga dapat menumbuhkan kesadaran politik warga, yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap system politik yang sedang berjalan.
Electoral Justice System
Konstitusi demokrasi Indonesia seperti UU pemilu, UUD 1945 dan Pancasila serta simpul negara, semuanya merupakan dasar-dasar perkembangan demokrasi. Electoral sebagai bagian dari nature-nya kerakyatan yang harus di pahami sedemikian detail adanya.
Faktor Electoral Justice System dalam system politik dan demokrasi Indonesia merupakan upaya penyelsaian sengketa yang terjadi dan mendorong peran aktif lembaga legislatif dalam penyelsaian domain politik (political bodies, assemblies, or refresentative, electoral college).
Pemilu yang bebas adil dan fairnes menjadi inti dari pemilu yang demokratis. Hal ini telah menjadi consensus internasional, khususnya dibidang politik bahwa system penyelsaian pemilu yang efektif adalah sin quo non dengan pemilu yang bebas dan adil.
Rangkaian proses pemilu sejak persiapan, pelaksanaan, pemungutan suara, penghitungan hingga penyelsaian sengketa pemilu secara fair dan adil. Usaha penjagaan proses politik dan demokrasi di Indonesia melalui pemilu dikenal dengan system Electoral Justice System (EJS).
Electoral Justice System (EJS) adalah sebuah konsep yang menjamin agar pemilu dilaksanakan sesuai dengan aturan dan kepercayaan publik secara adil dan seimbang agar hak warga Negara terpenuhi tanpa ada diparitas politik.
Hak-hak yang dimaksud dalam konteks keadilan adalah seluruh proses tahapan pemilu sebagai sebuah system politik dan demokrasi harus mendapat keadilan dalam rangkaian kegiatan pemilu. EJS memberikan keadilan dalam tahapan pemilu kepada orang yang terlanggar haknya dalam pemilu untuk mengajukan complaint dan memprosesnya secara hukum. Mekanisme penyelsaian pemilu sangat penting bahkan menjadi hal yang paling fundamental dalam proses demokrasi.
Ian Refalo mengatakan bahwa “safeguarding these rights becomes a key element in ensuring a free and balanced election qhich truly expresses the people’s will”, tidak hanya itu penyelsaian sengketa pemilu dalam system politik dan demokrasi merupakan hal yang sangat fundamental.
Hasil penelitian Institute for Democracy And Electoral Assistance (IDEA) mendefinisikan electoral dispute adalah “any complaint, challenge, claim or contest, relating to any stage of electoral process”.
Selain itu Sardjan Darmanovic mengatakan bahwa electoral dispute emerge where anda when one or more electoral actors validation of the election process ur put under question election resuelth on these consequenesces”.
Di Indonesia mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) memang di jelaskan bahwa penyelsaian konflik pemilu menjadi kewenangan MK. Kata hasil dalam konteks penyelsaian sengketa pemilu terkait hasil perolehan dan penghitungan suara secara mathematics (Mathematics Counts of Ballots).
Sejak pasca pemilu 2014, ada upaya untuk pengalihan dan penambahan wewenang Komisi Pemilihan Umum yaitu KPU mengusulkan kepada DPR agar dapat melakukan proses penyelsaian sengketa pemilu dan pilkada oleh KPU sendiri. Tidak lagi oleh DKPP dan mahkamah Konstitusi.
Hal ini dilakukan oleh KPU setelah disetujui perpu pengganti Undang – Undang tentang pilkada serentak pada kurun waktu 2015 – 2016. Namun hal ini perlu dikaji memang mengingat sangat besarnya tanggungjawab Komisi pemilihan Umum (KPU).
Apa salahnya tetap MK dan DKPP yang melakukan penyelsaian pelanggaran pemilu. Kalaupun KPU melaksanakan tugas itu, mungkin pelaksanaan pemilu tidak seefektif dan semaksimal yang diinginkan. Apalagi menginginkan pemilu yang bersih, sehat, fair dan adil.
Memang system politik dan demokrasi Indonesia harus terus di perbaiki sesuai dengan perubahan UUD 1945 kelima dengan tujuan memperkuat demokratisasi di Indonesia. Pemilu legislative, presiden dan wakil presiden maupun pemilukada sebagai sala satu instrument politik dan demokrasi yang bertujuan untuk memilih pemimpin.
Proses ini tidak mudah karena dibutuh segala faktor- faktor yang harus disesuaikan untuk mendukung penuh berjalannya system politik terbuka dan demokrasi yang fair justice. Maka harus dibentuk komisi electoral justice system (EJS).
Terkait dengan tingkah laku yang terjadi dalam pemilu dan pemilukada bahwa kecendrungan masyarakat dan pejabat melanggar aturan. Dalam sebuah penelitian mengenai pelanggaran pemilihan umum (kepala daerah), dapat dikemukakan pelanggaran yang terjadi adalah manipulasi syarat administrasi pencalonan, politik uang, politisasi birokrasi, kelalaian petugas penyelenggara pemilu, manipulasi suara, ancaman/intimidasi, dan tidak netralitas penyelenggara pemilu.
Tidak tangung-tangung pelanggaran tersebut tidak hanya dilakukan oleh pasangaan calon atau tim sukses, namun juga penyelenggara pemilu. Hal ini cukup meresahkan dan berakibat luas yang pada akhirnya menimbulkan asumsi bahwa suatu proses pemilu yang buruk tidak akan menghasilkan keputusan yang benar. Persoalan dilapangan tidak langsung pada kesalahan penghitungan matematis. Namun banyak juga pelanggaran pemilu pada prinsip-prinsip demokrasi dan asas hukum yang berlaku.
Pelanggaran masa pemilu berlangsung tentu akan memepengaruhi hasil matematis. Menghadapi masalah ini, semgketa pilkada Jawa Timur pertama kali di selesaikan oleh Mahkamah Konstitusi yang mencoba menafsirkan dengan pendekatan yang berorientasi pada proses. Sejak putusan perkara pilkada Jawa Timur, MK meneguhkan kewenangannya dalam hal menyelsaikan perselisihan hasil pemilu. Tidak hanya hasil perolehan angka, namun juga pada prosesnya. Mahkamah secara tegas menjustifikasi bahwa dirinya mempunyai kewenangan untuk mempersoalkan yudicial proses untuk memastikan kualitas pemilu.
Electoral Justice System (EJS) adalah sebuah konsep yang berbicara mengenai bahwa kepastian tindakan, prosedur, keputusan yang terkait dengan proses pemilu sejalan dengan hukum (UU, konstitusi dan ukum internasional). Dtambah dengan adanya perlindungan terhadap hak-halk yang terlibat dalam proses pemilu kepada semua orang yang mengalami pelanggaran pemilu dan terlanggar haknya untuk mengajukan complaint.
Dari definisi tersebut bahwa tujuan utama EJS adalah perlindungan terhadap hak-hak yang terdapat dalam proses pemilu. Hak-hak tersebut adalah hak untuk mendapatkan akses menuju Electoral justice system termasuk mendapatkan pemulihan yang efektif; hak untuk berserikat untuk pemilu; hak untuk mencalonkan diri; hak untuk memilih; hak kebebasan ekspresi, memilih, berkumpul, petisi dan akses untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang pemilu; hak politik untuk berpartisipasi dalam proses pemilu. [ Penulis; Rusdianto Samawa, Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta ]