-->

Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Kebenaran yang Hilang; Kekelaman Sejarah Islam yang Disembunyikan




Bagi sekelompok ulama al-Azhar, Farag Faouda ini dianggap liberal. Pikiran-pikirnya dalam buku Kebenaran Yang Hilang ini dianggap menghujat agama dan ia dianggap keluar dari Islam (murtad). Sehingga saat itu sekelompok ulama Al Azhar mengeluarkan fatwa bahwa darahnya Farag Faouda ini halal untuk dibunuh.

Farag Faouda meninggal di Madinat al-Nasr, sebuah daerah di pinggiran Kairo. Tempat hunian bagi para mahasiswa/i al-Azhar. Tepatnya tanggal 8 Juni 1992. Ia ditembak saat sholat oleh sekelompok algojo bayaran.

Lima bulan sebelumnya, Fouda sempat mengikuti dialog yang diadakan pada acara Pameran Buku Kairo. Dialog itu dihadiri oleh beberapa ulama al-Azhar, termasuk Muhammad al-Ghazali, Ma’mun al-Hudaibi, dan Muhammad Imara. Temanya berkisar pada persoalan hubungan antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam dan khilafah. Terjadi perdebatan sengit yang ujung-ujungnya kelompok Azharian ini mengeluarkan fatwa murtad terhadap Fouda.

Dalam buku ini, tak sungkan-sungkan Faouda membeberkan beberapa sejarah Islam yang disembunyikan. Misalnya; tragedi kematian Usman bin Affan dan mayatnya yang tak langsung dikuburkan. Konon mayatnya harus tertahan selama dua malam, dan dikuburkan di pekuburan kaum Yahudi (Hal; 26). Selain itu Farag Faouda juga membeberkan betapa kejamnya Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad as-Saffah, pendiri dinasti Abbasiyah saat melakukan pembantaian keluarga Ummayah di istananya (hal; 122), dan masih banyak lagi.

Pedang dan Darah

Dalam buku Kebenaran Yang Hilang ini, Fouda mengkritik pandangan kaum tafsir Islam yang tidak mengungkapkan fakta sejarah tentang Islam yang sangat kelam dan mengerikan. Fouda bukan sekedar melontarkan fakta-fakta ini tanpa dasar. Ia melakukan penelitian mendalam dari kitab-kitab klasik yang sebenarnya disimpan para penyerangnya sendiri. Sungguh ironis. Disinilah letak keberanian Fouda dibandingkan cendekiawan lain, keilmuwan saja tidak cukup, tetapi harus memiliki keberanian, kendati nyawa akhirnya menjadi taruhan.

Dalam buku ini, pandangan kita tentang Islam selama ini menjadi biasa-biasa saja. Misalnya, banyak yang beranggapan periode salaf, yakni jaman keemasan sahabat Nabi dan al-Khulafa’ al –Rasyidun merupakan jaman keemasan. Bagi Fouda jaman ini tidak ada yang istimewa, bahkan di jaman ini banyak meninggalkan jejak memalukan.

Misalnya saja, tiga dari empat al-Khulafa’ yang katanya al - Rasyidun itu wafat dibunuh. Bahkan Usman bin Affan, Khlaifah ketiga tewas dibunuh dan jasadnya tidak diperlakukan dengan hormat. Ia dimakamkan tiga hari kemudian, cara yang bukan Islam (Hal; 26). Selain itu, sebagian pengikutinya tidak mau menyembahyangi jasadnya, bahkan sebagian meludahi dan mematahkan salah satu persendiannya.

Yang menjadi pertanyaan, ketika banyak sebagian dari umat Islam menginginkan kembali ke jaman khalifah, justru sikapnya anti terhadap diskotik, bar, penyanyi setengah telanjang hingga hal – hal yang berbau modern. Sikap konservatif sempit ini menurut Fouda sangat bertentangan dengan fakta sejarah dalam Islam sendiri.

Ia mengambil contoh misalnya, era dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Kedua dinasti ini menurut Fouda sangat bejat, brengsek, biadab dan brutal. Pendiri dinasti Abbasiyah yang dijuluki “Si Penjagal “ ini kabarnya pernah mengundang 90 anggota keluarga Umayyah untuk makan malam. Namun mereka kemudian disiksa dan dibunuh secara keji (Hal; 112).  Kebiasaan para khalifah di dinasti ini juga gemar meminum minuman keras, hedonis, main perempuan bahkan berperilaku seks menyimpang.

Bagi Fouda dalam bukunya ini, sistem khilafah tidak lebih dari sistem kekuasaan totaliter yang berselubung agama. Fouda mempertanyakan label Islam, kalau tidak mau dibilang para khilafah itu bukan Islam.

Bagi Fouda bila ada sekelompok kaum muslim yang ingin mengembalikan Islam ke jaman keemasan era Khulafa’ sangat ironis, karena justru era itu menurut Fouda bukan Islam, melainkan jaman yang tidak beradab. Kesimpulan Fouda ini tentu menimbulkan rekasi keras dari kelompok fundamentalis, sehingga tidak ada jalan lain bagi mereka membungkam Fouda dengan membunuhnya.

Dalam buku ini, Fouda ingin memperingatkan kepada kaum muslim untuk berfikir dua kali untuk membangun Negara Islam dengan mengacu pada jaman Khulafa’ yang katanya The Golden Years Era. Islam bagi Fouda harus dijauhkan dari kekuasaan dan politik karena justru bisa merendahkan atau mereduksi agama ini ke tingkat yang paling memalukan dan nista.

Dalam penutupnya, setelah dia memaparkan fakta -fakta yang tidak menyenangkan di era al – Khulafa’ al-Rasyidun hingga sejarah kelam Abbasiyah, Fouda melontarkan kalimat “ Lalu Untuk Apa?” Fouda mengatakan, terguncang dengan fakta lebih baik dari pada berbangga dengan kepalsuan. Fouda ingin mengajak pembacanya, kaum muslim terpelajar untuk berani mengakui kenyataan pahit, bahwa sejarah Islam sebagian bermandikan darah dan penuh dengan kebiadaban.

Fouda ingin membumikan segala mitos dan fantasi-fantasi yang selama ini yang mengagung-agungkan jaman Khulafa’ sebagai jaman kebesaran Islam yang kemudian diproyeksikan ke jaman saat ini dan menjadi raison d’etre Islam bernegara. Fouda menginginkan umat Islam melupakan mimpi itu, mimpi tentang sebuah Negara dengan tatanan Islam.

Menurut saya, buku Kebenaran Yang Hilang ini sangat penting, buku ini tidak sekedar memberikan cakrawala sejarah baru tentang Islam, namun mengajak umat Islam untuk lebih kritis dan memahami Islam sebagai agama yang rasional dan membumi. (AF)

Related Posts

Subscribe Our Newsletter